35. Karen (9 Tahun Lalu)

158 11 0
                                    

     Setelah dari Subuh melakukan persiapan, akhirnya kegiatan bakti sosial dan pasar murah dimulai juga. Warga desa yang telah mendapatkan kupon datang berbondong-bondong dengan suka cita. Selain mendapatkan aneka barang hasil sumbangan dari civitas akademika SMA Pelita, mereka juga bisa membeli sembako dengan harga sangat murah dari yang ada di pasaran. Hasil dari pasar murah itu pun akan diberikan kembali pada warga untuk memperbaiki sekolah negri yang sudah reyot dan luput dari perhatian pemerintah.

     Raven banyak membantuku mengorganisir alur kedatangan warga desa agar tidak berdesakan di satu titik saja. Saat kemarin malam kami berdiskusi, Raven benar-benar memperlihatkan kapasitasnya sebagai seseorang yang berotak encer dan menuntut ilmu hingga ke Jerman. Mungkin karena terbiasa dengan ritme hidup orang Jerman, Raven bisa dengan sangat efektif mengorganisir spot-spot barang sembako dalam waktu singkat dan disertai analisa yang sangat logis.

     Malam itu aku mengamati kelima muridku saat Raven menjelaskan sarannya pada semua dari kami termasuk para guru yang hadir. Faiz seperti biasa memasang tampang cemberut saat melihat ke arah Raven. Ezra dan Belva nampak serius mendengarkan. Farah terlihat antusias dan memandang Raven dengan sorot mata kagum. Sedangkan Akhtar entah mengapa terlihat murung.

     Aku tidak tahu mengapa sejak kemarin siang Akhtar terlihat kehilangan semangatnya. Dia sangat sedikit berbicara. Dia lebih sering menyendiri saja sambil sesekali masih membantuku jika aku membutuhkannya. Itu pun dia benar-benar hanya melaksanakan perintahku tanpa berkata sepatah kata pun sampai pekerjaannya selesai.

     Karena menguatirkan keadaannya, aku bertanya pada Akhtar apakah dia sakit. Tapi dia hanya menjawab sambil tersenyum, "Saya nggak sakit, kok Miss."

     Entah mengapa, dari cara Akhtar memandangku saat mengatakan hal itu, aku jadi merasa bersalah padanya. Aku jadi merasa telah berlaku kurang adil pada kelima muridku yang dengan sukarela tanpa kuminta mau repot datang ke desa ini untuk membantuku. Padahal mereka kelas tiga dan sudah harus lebih banyak belajar untuk menghadapi ujian. Tapi mereka memilih untuk membantu mulai persiapan sampai datang membantuku di sini. Mungkin semua kesibukanku mengurus acara bakti sosial dan juga kedatangan Raven yang tiba-tiba, membuatku sedikit banyak jadi seperti melupakan mereka berlima.

     Aku melihat Akhtar di kejauhan lagi-lagi sedang duduk menyendiri. Kemudian Belva dan Ezra menghampirinya. Disusul oleh Faiz. Entah mengapa melihat keempat muridku itu, hatiku tiba-tiba terasa perih. Mungkin ini akibat rasa bersalahku pada mereka.

     Sebenarnya aku ingin mengobrol lebih banyak dengan murid-muridku yang ikut ke desa ini, terutama dengan Akhtar. Aku merasa ada yang harus aku bicarakan dengannya. Well... sebenarnya kalau boleh jujur, aku merasakan sedikit rasa kangen ngobrol dengan Akhtar yang biasanya selalu ceria saat mengobrol denganku. Aku juga merasa kangen pada keisengan dan ketengilannya yang kadang tiba-tiba muncul saat kami sedang bersama. Melihatnya murung benar-benar membuatku merasa tidak enak hati. Mungkin aku akan menyempatkan diri untuk ngobrol dengannya saat acara bakar jagung nanti malam. Siapa tahu aku bisa membuat Akhtar tidak murung lagi.

     Dari jauh, aku mengamati Raven yang sigap melayani para penduduk desa yang menukarkan kupon. Wajahnya yang ramah dan tampan sukses membuat para ibu-ibu penduduk desa senang melihatnya. Banyak juga yang ingin mengambil Raven sebagai menantu setelah tahu Raven belum menikah.

     "Owalah... arek ngganteng koyok ngene kok durung rabi." komentar salah seorang ibu paruh baya sambil cekikikan. (Owalah... anak ganteng seperti ini kok belum menikah)

     "Lha iyo, Yuk. Saking aku iki wis tuwek. Nek jik enom ngono aku gelem rabi karo mas iki." sahut ibu-ibu lainnya disambut koor cekikikan usil para ibu-ibu lainnya. (Lha iya, mbak. Sayang saya sudah tua. Kalau masih muda, saya mau menikah dengan mas ini.)

     "Mas, gelem tak pek mantu tah, mas? Anakku ayu, lho." ujar ibu lain tidak mau kalah. (Mas, apa mau saya ambil sebagai menantu? Anak saya cantik, lho.)

     The power of Emak-emak memang luar biasa. Pikirku sambil tersenyum geli melihat Raven yang dengan sabar hanya menanggapi gurauan ibu-ibu tersebut dengan tersenyum ramah dan mengangguk sopan.

     Aku salut pada Raven yang jauh-jauh dari Jerman malah menyempatkan datang kemari membantuku. Bahkan semalam dia tidak keberatan tidur berjajar di lantai yang dingin bersama Akhtar, Belva, Faiz, dan Ezra. Dia sebenarnya bisa tidur di penginapan, tapi dia memilih tidur di lantai dengan alasan malas cari penginapan karena sudah malam.

     Berkat bantuannya, bakti sosial berjalan dengan lancar dan semarak, serta lebih cepat selesai.

     Setelah selesai membereskan kardus-kardus, Raven menghampiriku dengan senyum khasnya yang saat SMA sangat jarang terkembang karena dulu dia tidak terlalu ramah pada cewek-cewek. Mungkin setelah lama hidup sendirian di Jerman, dia menjadi pribadi yang lebih ramah dan terbuka.

     "Ren, sepertinya nanti agak siangan aku harus pulang ke rumah Ibu. Ibu barusan SMS, bilang bahwa Eyang Putri sangat kangen padaku." jelas Raven. Ada raut keengganan di wajahnya.

     "Iya. Nggak apa-apa, Ven. Kamu sudah banyak sekali membantu. Terima kasih ya? Maaf aku nggak bisa nemani kamu jalan-jalan keliling. Padahal kamu sudah jauh-jauh pulang ke Indonesia." tanggapku penuh terima kasih.

     "Well... akunya juga sih yang salah. Mudik kok mendadak. Akhirnya cuma punya waktu dua hari satu malam ketemu kamu." sahut Raven. "Makanya aku susul kamu ke sini. Aku kuatir nggak bisa ketemu kalau nunggu kamu balik ke Surabaya."

     Aku terharu mendengar alasannya menemuiku di sini. Dia benar-benar sahabat yang baik.

     "Bang Raven!" panggil Faiz yang tiba-tiba datang mendekat bersama Ezra.

     Raven menoleh pada Faiz dan menunggu apa yang ingin Faiz katakan.

     "Bang, tanding main basket, yuk! Tuh ada ring basket menganggur." ujar Faiz dengan senyum lebar yang mencurigakan. Karena senyumnya kali ini agak terlalu lebar. Ezra hanya tersenyum tipis seperti biasa.

     Raven menoleh lagi padaku. "Masih ada waktu nggak, Ren?" tanyanya.

     Aku mengangguk. "Ada. Kalau kamu mau main, nggak apa-apa kok." jawabku.

     "Oke." tanggap Raven sambil tersenyum. "Eh tapi Ren. Kalau aku menang, kamu harus mau pergi nonton sama aku ya?"

     Aku tertawa. Karena aku merasa sangat berterima kasih pada Raven atas semua bantuannya selama dua hari ini, aku mengangguk mengiyakan. Faiz melihat ke arahku dengan muka cemberut. Ezra mendengus tertawa melihat ekspresi Faiz.

     "Siiip. Tapi sepertinya kita akan nonton di Jerman." ujar Raven sambil tersenyum antusias. Dia sepertinya yakin sekali aku bakalan lolos seleksi beasiswa ke Jerman. Padahal belum ada pengumuman resmi.

     "Iya. Oke. Dimanapun boleh." tanggapku santai.

     Faiz semakin cemberut mendengarnya. Dia lalu pergi meninggalkan aku dengan langkah cepat disusul Raven di belakangnya.

     "Mereka berani juga nantang Raven." gumamku sambil mengamati kepergian Raven dan Faiz.

     "Loh kenapa, Miss?" tanya Ezra yang ternyata mendengar aku bergumam sendiri.

     "Well... Raven itu kapten tim basket putra di sekolah Miss saat SMA dulu. Sampai sekarang dia masih aktif bermain di kampusnya di Heidelberg." jelasku.

     Ezra sejenak seperti terkejut mendengar penjelasanku. Lalu tiba-tiba dia tertawa geli. Aku sampai keheranan melihatnya. Ini baru pertama kalinya aku melihat Ezra tertawa selama itu.

     "Kamu kenapa, Ez?" tanyaku heran.

     "Miss, lebih baik kita ikut nonton basket di sana deh. Bakalan ada pertunjukan menarik." jawab Ezra sambil masih menahan ketawa. Air mata muncul di sudut-sudut matanya efek dari tertawa yang lama.

     "Oke." jawabku masih dengan rasa penasaran mengapa Ezra sampai tertawa seperti itu.

     Aku mengajak serta Farah yang sedang duduk-duduk bersantai untuk ikut menonton. Selama perjalanan ke arah lapangan basket yang lapangannya dari semen yang agak berlumut itu, Ezra masih tidak berhenti tertawa.

Karen dan AkhtarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang