EPILOG : Karen (3)

230 31 5
                                    

     This is it.

     Hari ini tiba juga. Aku harus memberitahu Akhtar bahwa aku hari ini telah memberikan surat resignku pada Yayasan. Sebulan lagi inshaAllah aku resmi tidak bekerja lagi di SMA Putra Bangsa.

     Seperti biasa, sore ini Akhtar menjemputku dengan penampilannya yang sempurna. Akhtar ingin menunjukkan ke murid-muridku yang selalu setia menemaniku menunggu kedatangannya di lobby sekolah bahwa aku adalah miliknya. Dia seperti Singa jantan yang tidak ingin wilayah kekuasaannya diganggu. Dan setiap Akhtar datang, murid-muridku anehnya selalu terdiam dengan kompak tanpa dikomando. Entah apa yang membuat mereka begitu. Padahal awalnya mereka ramai berceloteh dan bercanda.

     Akhtar membukakan pintu mobilnya untukku, lalu menutupnya dengan percaya diri setelah memastikan aku sudah duduk dengan nyaman dan rokku tidak terjepit di pintu.

     Setelah itu dia akan menyetir mobilnya dengan elegan agar meninggalkan kesan yang 'wah' pada murid-muridku.

     "Tar..." panggilku setelah mobil kami keluar gerbang sekolah.

     "Hm?"

     "Aku tadi memberikan surat resign. Jadi insyaAllah sebulan lagi aku sudah nggak kerja di kantor." lanjutku.

     Akhtar menoleh sekilas padaku lalu kembali memperhatikan jalan. Dia tersenyum senang.

     "Jadi... kamu memutuskan untuk seratus persen di rumah dan mengurusku?" tanya Akhtar dengan senyum riang seperti anak-anak.

     Aku menggeleng. "Enggak."

     Akhtar menoleh ke arahku dengan bingung lalu memperhatikan jalan lagi.

     "Kamu mau kerja di tempat lain?" tanya Akhtar. Ada nada kecewa di suaranya.

     "Enggak," jawabku lagi. "Aku mau mengurus yang lain."

     Akhtar diam. Sepertinya dia berpikir keras. Mungkin dia berusaha mengingat apa yang pernah aku bicarakan dengannya. Dia bertanya pada dirinya sendiri apa mungkin dia melupakan sesuatu.

     "Aku mau mengurus anak." lanjutku akhirnya sambil tersenyum.

     Akhtar nampak lega.

     "Oooh... aku pikir mengurus apa. Pantesan aku nggak ingat kamu pernah ngomong mau pindah kerja. Ternyata kamu mau mengurus an-..."

     Tiba-tiba Akhtar berhenti bicara lalu menepikan mobilnya ke kiri jalan. Setelah mobil berhenti, Akhtar memandangku dengan tegang.

     "Kei... kamu...," ujarnya gugup. "Kamu mau mengurus... anak?"

     Aku mengangguk sambil tersenyum.

     "A... anak?" ulang Akhtar lagi. Mata coklat terangnya memandangku dengan haru.

     Aku mengangguk. Air mata mulai merebak di pelupuk mataku. Air mata bahagia.

     Akhtar langsung melepas seat beltnya lalu memelukku erat.

     "Alhamdulillaah... alhamdulillaah, Yaa Allah..." ujarnya terharu.

     Aku pun menangis bahagia bersamanya.

     Setelah momen mengharukan dalam hidup kami itu, Akhtar langsung menyetir mobil kami ke masjid terdekat. Kami sujud syukur di sana. Akhtar menyuruhku memasukkan sejumlah uang ke dalam kotak amal. Kemudian dia pun segera menelepon salah satu restoran untuk menyiapkan paket makanan yang akan dibagikan pada anak-anak yatim dan orang-orang yang membutuhkan di sekitar lingkungan rumah kami.

Karen dan AkhtarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang