11. Karen (9 tahun lalu)

172 11 0
                                    

     Aku melangkah menuju kantor guru dengan langkah agak lambat dari biasanya. Otakku sedang sibuk berpikir setelah bertemu Belva, Akhtar, Faiz, dan Ezra barusan. Beberapa anak yang berpapasan denganku di koridor tersenyum ramah. Ada juga yang menyapaku riang. Mereka nampak penuh energi sehabis istirahat makan siang.

     Tak seberapa lama bel masuk berbunyi. Segera saja anak-anak yang bermain basket di lapangan berhenti bermain. Lalu dengan kompak mereka menuju ke kelas mereka masing-masing. Beberapa murid cewek nampak masih asyik melanjutkan percakapan mereka sambil berjalan ke kelas. Nampak seru sekali pembicaraan mereka. Beberapa tertawa riang ada juga yang cekikikan.

     Aku masuk ke kantor guru, kemudian langsung menuju meja kerjaku. Siang ini aku tidak ada giliran jam mengajar. Maka aku putuskan untuk membaca beberapa tulisan murid-muridku tentang diri mereka. Saat menaruh tumpukan kertas tersebut di atas meja, sekelebat aku melihat sosok empat muridku yang bikin aku berpikir keras beberapa saat lalu.

     Faiz sedang tertawa riang seperti biasa. Belva ikut tertawa bersamanya. Ezra hanya tersenyum. Sedangkan Akhtar hanya tersenyum tipis dan nampak sedang berpikir. Empat anak itu memang terlihat mencolok di antara murid lainnya. Ezra entah bagaimana terlihat selalu memancarkan aura artis yang membius. Faiz yang periang, berkepribadian hangat dan ramah selalu menarik untuk diperhatikan karena wajah arabnya yang tampan dan sangat terawat. Belva dengan postur yang tinggi tegap di atas rata-rata dan atletis jelas sangat mencolok karena dia seperti raksasa baik hati di antara yang lainnya. Untungnya ketiga sahabatnya itu juga berpostur tubuh tinggi. Jadi Belva nampak tidak terlalu menjulang tinggi saat berada bersama mereka. Akhtar juga tidak kalah mencolok dengan kulit bule, rambut coklat tua dan warna matanya yang coklat terang.

     Mereka pasti berantem hari ini. Pikirku setelah beberapa saat berpikir sambil memperhatikan sosok keempat murid mencolokku itu melewati kantor guru.

     Tidak mungkin anak-anak SMA Bina Siswa akan menunggu lama untuk balas dendam. Keburu basi.

     Pengalamanku saat SMA mengatakan bahwa anak-anak muda ini masih pendek cara berpikirnya. Masih belum mampu berpikir panjang akan akibat yang ditimbulkan dari apa yang mereka lakukan. Apalagi kalau masih diliputi emosi membara. Mereka pasti tidak akan menunggu lama untuk bertindak. Karena aku pun demikian dulu saat masih SMA. Emosiku meledak-ledak dan sulit sekali aku kendalikan.

     Setelah beberapa lama mempertimbangkan, aku memutuskan untuk membuntuti Belva saat pulang sekolah nanti. Aku tidak ingin dia diskors atau kemungkinan terburuk, dikeluarkan dari sekolah karena berkelahi untuk kesekian kalinya meski dalam beberapa kasus itu bukan akibat kesalahan Belva. Belva sudah terlalu sering terlibat perkelahian dengan anak-anak di sekolah ini maupun anak sekolah lain sejak dia kelas 1 SMA. Jika sampai berkelahi lagi, Belva kemungkinan besar benar-benar bisa dikeluarkan dari sekolah. Padahal dia sudah kelas 3. Sayang sekali jika harus keluar dari sekolah di saat yang penting seperti ini.

     Aku pernah berada di posisi Belva. Semua orang membenciku dan melabeliku dengan gadis pembuat onar karena aku sering berkelahi dengan anak-anak di sekolahku. Aku tahu persis betapa tidak enaknya mendapat label itu. Rasanya semua perkataanku tidak pernah didengar dan dianggap penting. Bahkan saat aku berbuat sesuatu yang baik sekalipun, tidak ada orang yang percaya bahwa aku melakukannya dengan tulus. Karenanya aku tidak ingin Belva merasakan hal yang sana seperti yang aku rasakan dulu lebih lama lagi. Aku ingin membuat Belva menyadari potensinya sebagai atlet baseball dan aku juga ingin memotivasi dia bahwa dia akan bisa menjadi atlet yang hebat jika dia mau.

     Aku menyadari resiko yang harus aku tanggung jika aku sampai terlibat dalam urusan Belva. Sekolah bisa saja mengakhiri kontrak kerjaku jika mengetahui aku terlibat dalam perkelahian antar pelajar yang melibatkan murid dari sekolahku. Tapi aku merasa hal itu bukan sesuatu yang perlu dikuatirkan. Demi menghindarkan murid-muridku dari masalah berat yang bisa mengganggu studinya, aku harus siap menerima apa pun resikonya.

    Aku kembali menekuri tumpukan lembaran kertas berisikan tulisan murid-murid kelas 3 tentang diri mereka. Dari tulisan-tulisan inilah aku bisa memilah mana muridku yang butuh untuk ditangani segera permasalahan psikologinya agar menjelang ujian nanti, mereka sudah lebih siap dan mampu fokus menghadapi ujian.

************************************
     Setelah beberapa saat tenggelam dalam pekerjaanku, aku dikagetkan oleh bunyi bel pulang. Aku segera mengemasi barangku di atas meja kerja lebih awal dari biasanya. Aku harus segera berkemas dan menyiapkan motorku agar bisa mengetahui arah Belva pulang. Aku tidak ingin tertinggal dari Belva.

     Apapun yang terjadi, aku harus melindungi Belva. Belva tidak boleh terlibat masalah lagi. Aku harus bisa membuat Belva lulus dari sekolah ini dengan baik.

Karen dan AkhtarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang