Aku sengaja memilih warna biru navy dan kerudung biru muda untuk pakaian yang kukenakan hari ini karena terbawa suasana sekitar kosku yang riang oleh celotehan teman-teman kos yang bersiap menuju ke tempat kerja serta cuacanya cerah dan sangat menyenangkan.
Aku berangkat dari kosku dengan semangat. Semoga hari ini juga membahagiakan bersama murid-muridku yang terkadang bandel tapi juga bikin tertawa karena tingkah mereka.
Sesaat setelah memarkir motorku di parkiran yang dinaungi pohon trembesi besar, muridku yang juga baru selesai memarkir motornya dan terkenal bandel, menyambutku dengan sapaan usil yang sudah biasa aku dengar.
"Assalamu'alaykum, Miss Karen! Warna biru memang cocok buat Miss Karen." sapa Juna, si bad boy yang bandel tapi kadang alay. Dia kadang datang ke ruanganku hanya untuk memberiku coklat. Juna yang bertubuh tegap dengan rambut agak gondrong yang sengaja dikuncir agak asal-asalan menjejeri langkahku menuju gedung utama tempat ruangan kantorku berada.
"Terima kasih, Jun. Kemarin kamu bilang warna merah yang cocok." tanggapku santai sambil terus berjalan.
Juna yang merasa kalah telak langsung tertawa. "Kalah lagi deh."
"Pagi, Miiiss! Senangnya aku pagi-pagi sudah ketemu Miss Karen!" seru Rio yang berbadan tinggi kurus tiba-tiba ikut nimbrung dan berjalan menjejeri langkahku dengan riang.
"Iya pasti lah kamu senang ketemu Miss. Kamu nggak akan senang kan kalau ketemu mbak penjual kue di kantin yang belum kamu bayar kuenya?" tanggapku cuek sambil terus melangkah.
"Wiihhh... sadisss. Miss Karen kok tahu, sih!" sahut Rio sambil cengengesan.
"Assalamu'alaykum warohmatullohi wabarokatuh, Miss Kareeeen. Saya pikir tadi ada bidadari turun dari langit. Ternyata Miss Karen." salah satu murid SMA Putra Bangsa yang mempunyai followers Instagram terbanyak, Azzam, ikut bergabung berjalan bersamaku. Playboy tengil ini kadang mengingatkanku pada Faiz. Apalagi Azzam juga berwajah arab yang tampan.
"Wa'alaykumussalam warohmatullohi wabarokatuh. Oh ya? Miss baru tahu kalau bidadari itu naik motor butut." sahutku santai.
"Wah wah! Kenapa sih Miss Karen selalu bisa mengalahkan rayuan mautku?" tanya Azzam penasaran.
Aku tertawa lalu menjawab, "Miss pernah berhadapan dengan yang jauh lebih parah gombalannya dari kamu."
"Pacar Miss Karen?" sahut Azzam dan Juna bersamaan. Raut wajah mereka terlihat sangat penasaran.
Aku tertawa. Aku terbayang wajah tengil Faiz saat menggombaliku. Aku memilih untuk tersenyum dan tidak menjawabnya.
Aku berbelok menuju ruanganku. Aku terpaksa mengusir tiga anak bandel yang pagi ini ingin ikut masuk ke ruanganku itu dengan berbagai alasan. Mulai alasan ngadem di runganku yang ber-AC sampai pada curhat antar pertemanan. Aku mau bersiap-siap karena pukul sepuluh nanti aku akan menerima tamu di ruanganku.
Dengan wajah dibuat semelas mungkin karena berusaha membuatku iba, ketiga anak bandel itu menurutiku untuk langsung masuk ke kelasnya bukannya malah nongkrong di kantorku.
Tak seberapa lama kemudian, mbak Riri, resepsionis sekolah, datang dengan langkah kaki lebih lambat dari biasanya dan menyapaku dengan sedikit tidak bersemangat. Mungkin hari ini ia agak sedikit tidak enak badan. Aku menawarinya untuk mau minum teh bersamaku sebelum bel masuk. Tapi mbak Riri menolak karena ia mengaku sedang tidak ingin minum atau makan karena baru saja sarapan sebelum berangkat ke sekolah.
Akhirnya aku membiarkannya bersiap dan melakukan pekerjaan rutinnya karena aku juga harus mempersiapkan pekerjaanku sendiri.
************************************
Pukul 10.00
Aku melirik jam tanganku dengan heran. Tamu yang aku tunggu belum datang.
Apa tamuku terjebak kemacetan? Atau dia membatalkan pertemuan hari ini?
Aku berpikir jika memang pertemuan ini batal, mbak Riri pasti sudah memberitahuku. Maka aku memutuskan untuk menunggu beberapa saat lagi.
Pukul 10.10
Tamuku tidak juga datang. Akhirnya aku berjalan menuju rak buku untuk mengambil buku sketsaku di laci. Biasanya aku memang suka sekali membuat sketsa gambar atau membuat handlettering untuk mengusir jenuh atau saat sedang menunggu tamu seperti sekarang.
10.12
Aku mendengar ketukan pintu kantorku. Aku segera meletakkan buku sketsaku dan berdiri untuk bersiap menyambut tamuku yang sudah terlambat dua belas menit. Aku membenahi kerudungku agar terlihat lebih rapi sebelum menanggapi ketukan di pintu kaca gelap itu.
"Silahkan masuk." ujarku.
Pintu terbuka.
Mbak Riri masuk dengan raut wajah ceria dan bersemangat diikuti oleh seorang pemuda bertubuh tinggi tegap yang sangat tampan di belakangnya.
Jantungku berdebar sangat kencang dan aku bisa merasakan suhu tubuhku menurun drastis. Tubuhku langsung terasa seperti membeku melihat pemuda itu. Keringat dingin mulai keluar dari pori-pori telapak tanganku yang aku yakin sekali saat ini pasti memucat. Aku tidak bisa merasakan jari-jari tangan dan wajahku. Seakan-akan darahku telah berhenti mengalirinya.
Aku terkejut setengah mati dan terpana melihat pemuda itu. Ia mempunyai ketampanan yang tidak biasa. Wajahnya mempunyai gurat tampan asli Indonesia berpadu dengan gurat tegas ras Kaukasoid Dinara yang berasal dari Eropa tenggara. Rambut coklat tuanya ditata rapi. Kulit bulenya nampak cocok dengan kemeja biru mudanya. Alis tebal, hidung mancung, serta rahangnya yang kokoh menambah kesan tegas dan dingin di wajahnya yang sangat tampan. Tapi selain itu semua, siapapun yang melihatnya pasti terpesona pada sepasang mata coklat terangnya yang kini memandangku dengan sorot mata teduh.
Saking kagetnya aku melihat dia tiba-tiba muncul di hadapanku, aku hampir saja jatuh terduduk karena persendianku seperti kehilangan kekuatannya. Aku sudah setengah mati mencoba menghindarinya selama delapan tahun. Tapi kini ia muncul di hadapanku dengan senyum ramah yang sama. Hanya saja, dia kini nampak seperti seorang pemuda yang telah matang dan dewasa. Bukan lagi pemuda belasan tahun. Tidak lagi nampak lemak-lemak masa muda di wajahnya yang halus. Kini wajahnya terlihat lebih maskulin dan tegas. Sorot matanya penuh percaya diri. Dan melihat penampilannya saat ini, semua orang pasti bisa menduga bahwa dia mempunyai kemampuan finansial di atas rata-rata dan mempunyai status sosial yang tinggi.
Pemuda itu ternyata mewarisi aura digdaya Ayahnya. Aura seorang laki-laki yang sangat percaya diri dengan apa yang ada pada dirinya. Aura yang sanggup mengintimidasi orang di sekitarnya.
Kini aku merasa kepercayaan diriku minggat entah kemana. Dan hal itu membuatku merasa tidak berdaya berdiri di hadapannya.
Akhtar...
KAMU SEDANG MEMBACA
Karen dan Akhtar
Historia CortaAku tak menyangka, ternyata kamu orangnya. Aku mencari apa yang membuatmu istimewa. Tapi aku pun tidak perlu melakukannya. Karena kamu istimewa sebegitu alaminya. Dalam pergulatan batin aku temukan bahwa ketika logika tak lagi bekerja, Allah akan tu...