Gugup?
100 persen.
Grogi?
Tentu.
Sebentar lagi aku akan mengucapkan ikrar yang tidak hanya disaksikan para undangan yang hadir, tetapi juga para penduduk langit. Ikrar ini juga akan membuatku menjadi penanggung jawab apa yang sebelumnya menjadi tanggungjawab ayah Miss Karen terhadap putri semata wayangnya itu.
Aku sangat bahagia hari ini. Setelah sekian tahun lamanya menunggu dengan sabar, akhirnya satu-satunya wanita yang membuatku terpesona sebentar lagi inshaAllah akan sah menjadi istriku.
Beberapa minggu ini aku dan Miss Karen masih membiasakan diri dengan caraku memanggil namanya. Tentunya aku tidak mungkin memanggil istriku dengan sebutan 'Miss Karen'. Karenanya aku memanggilnya dengan nama 'Kei'. Sebutan untuk singkatan namanya, Karen, yang aku ambil huruf depannya saja. Miss Karen tidak menyukai sebutan lain yang aku tawarkan padanya. Kadang aku sengaja menggodanya memanggil dia dengan sebutan 'Dear'. Saat itu Miss Karen langsung melirikku dengan galak. Pernah juga aku goda dengan memanggilnya 'Honey'. Miss Karen langsung memicingkan mata indahnya dengan sadis padaku. Apalagi saat aku memanggilnya dengan sebutan 'Sayang'. Ia langsung menatapku galak dan menghardikku dengan judes, "AKHTAR!!!"
Aku tersenyum saat mengingatnya. Miss Karen memang unik. Ia tidak suka menunjukkan rasa sukanya dengan terang-terangan. Ia juga risih jika aku mulai tengil mencoba mendekatkan posisiku saat sedang berjalan atau duduk bersamanya. Biasanya dahinya akan langsung berkerut dan mata indahnya memandangku galak. Malah pernah dengan spontan langsung menegurku dengan dingin, "Akhtar! Jangan dekat-dekat!"
Sungguh. Hal itu membuatku semakin jatuh cinta padanya. Aku merasa bahwa ia adalah wanita yang bisa dipercaya dalam menjaga dirinya. Jika padaku yang sudah menjadi calon suaminya saja Miss Karen masih begitu ketat menjaga dirinya, aku yakin ia akan terus begitu dimana pun dia berada meski tanpa pengawasanku.
Setelah Miss Karen menerima lamaranku, aku merasa ia menjadi sangat gugup saat berada bersamaku atau bahkan hanya mendengar suaraku via ponsel. Miss Karen jadi menghindari kemungkinan melihat ke arahku. Ia juga selalu ingin cepat-cepat mengakhiri pembicaraanku dengannya saat aku menelponnya. Saat aku menjemputnya untuk menemui Oom Rendra, nampak sekali raut wajah enggan pada dirinya. Meski pada akhirnya ia jadi ikut bersamaku, sepanjang perjalanan menuju ke sana dan pulang, Miss Karen jarang sekali berbicara dan melihat ke arahku.
Aku akhirnya memahami bahwa mungkin Miss Karen mengalami yang namanya kegalauan sebelum pernikahan. Ia mungkin dalam keadaan bingung pada dirinya sendiri dan bahkan mungkin mempertanyakan keputusannya mengapa mau menerima lamaranku. Karena itu aku memutuskan tidak banyak mengajaknya berdiskusi dalam mempersiapkan pernikahan kami. Bahkan aku juga tidak menyebut sama sekali tentang bulan madu kami keliling Eropa yang ternyata disponsori oleh salah satu anak perusahaan Ayah. Aku juga tidak menyebut apa pun tentang rencana kami setelah menikah. Tentu saja aku juga tidak menyebutkan apa pun tentang keinginanku untuk segera mempunyai banyak anak. Miss Karen pasti akan bertambah stress dan tegang karenanya.
"Kita akan mulai, ya? Mas Akhtar sudah siap?" tanya Pak Penghulu.
"InshaAllah." jawabku mantap.
Ayah Miss Karen menatapku sambil tersenyum. Setelah membaca istighfar, kemudian beliau menjabat tanganku erat untuk memulai proses akad nikah. Dengan suara yang jelas dan tegas, beliau berkata:
"Ananda Akhtar Dewantoro bin Salman Dewantoro, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan putri kandung saya, Karenina Azzahra binti Prabu Artabumi Sastrowijoyo dengan mas kawinnya seperangkat alat sholat dan sebuah bibit pohon trembesi dibayar tunai."
KAMU SEDANG MEMBACA
Karen dan Akhtar
Short StoryAku tak menyangka, ternyata kamu orangnya. Aku mencari apa yang membuatmu istimewa. Tapi aku pun tidak perlu melakukannya. Karena kamu istimewa sebegitu alaminya. Dalam pergulatan batin aku temukan bahwa ketika logika tak lagi bekerja, Allah akan tu...