49. Karen ( 2 Tahun Lalu)

146 12 1
                                    

Aku menelpon Ayah dan Ibuku untuk melepas rindu. Biasanya beliau berdua riang sekali menerima telpon dariku. Tapi ada yang berbeda kali ini. Sepertinya Ibuku menangkap kerisauanku. Intuisi seorang ibu memang luar biasa. Hanya dari nada suara, Ibuku mengetahui bahwa aku sedang tidak baik-baik saja.

"Kamu ndak apa-apa, nduk?" tanya Ibu dengan nada curiga.

"Ndak apa-apa, Buk. Hanya agak kurang fit." jawabku berusaha menutupi.

Jeda sejenak.

"Ibu dan Ayah sebenarnya sudah kangen bisa sering ketemu kamu lagi seperti dulu," lanjut Ibu. "Apa kamu ndak ada rencana balik ke Indonesia?"

Aku terdiam.

Balik ke Indonesia artinya aku harus menghadapi kekuatiran terbesarku.

Yaitu bertemu Akhtar.

Entah mengapa aku masih takut untuk bertemu dengan Akhtar. Sepertinya aku masih terus teringat tentang malam dimana Akhtar tiba-tiba menyatakan perasaannya padaku secara implisit. Dan meski Akhtar tidak pernah terang-terangan mengatakan ia mempunyai perasaan yang spesial padaku, aku bisa merasakan kesungguhannya pada segala bentuk perhatian yang ia berikan. Aku mulai merasa gugup saat bertemu dengannya di kebun belakang saat memberi makan si Boy, karena sering sekali aku memergokinya sedang melihat ke arahku dengan sorot mata teduh yang membuatku merasa seperti kehabisan napas. Akhtar juga sering sekali mengajakku bertemu saat weekend. Kadang nonton, kadang juga hanya makan siang bersama. Beberapa kali aku menolak ajakannya. Tetapi kadang aku gagal menolak karena tiba-tiba Akhtar dan ketiga sahabatnya sudah berada di depan pagar rumah kontrakanku. Meski Akhtar selalu mengajak Ezra, Belva, dan Faiz juga untuk pergi bersama, entah mengapa aku merasa dia melakukannya karena sebenarnya ingin bertemu denganku.

Tapi sejujurnya, terlepas dari itu semua, sebenarnya aku juga sudah kangen pada Tanah Airku. Tidak ada yang bisa menggantikan suasana hidup di Indonesia. Buah-buahan yang melimpah, aneka masakan enak yang menggugah selera, pemandangan menakjubkan, suara adzan bersahutan saat tiba waktu sholat, dan tentu saja semua keluarga besarku yang tinggal di sana.

"Karen masih harus menyelesaikan proyek kantor, Buk," tanggapku akhirnya. Ibu masih diam mendengarkan. Maka aku melanjutkan, "Tapi Karen mungkin akan segera kembali ke Indonesia jika Ibu dan Ayah sudah kangen."

"Iya, Nduk. Pulanglah ke Indonesia. Apa yang kamu cari sana? Berkumpul dengan keluarga InshaAllah jauh lebih baik buat kamu. " tanggap Ibu terdengar bahagia mengetahui bahwa aku tidak keberatan untuk pulang ke Indonesia.

"Tapi, Karen butuh waktu untuk mencari pekerjaan dulu di Surabaya via online. Jadi saat Karen sudah kembali ke Indonesia, Karen nggak jadi pengangguran setelahnya, Buk." ujarku memohon agar Ibuku mau bersabar dengan proses kepulanganku nantinya.

"Iya. Cobalah cari pekerjaan di Surabaya. Sepertinya kamu kerasan di sana." ujar ibuku menyetujui rencanaku.

Aku menghela napas. Mungkin memang ini saatnya aku harus meninggalkan Jerman untuk kembali ke Indonesia. Enam tahun sudah aku tinggal di Jerman. Segala suka duka telah aku lewati di sini. Aku suka negara ini. Aku cinta kastil-kastilnya yang megah dan indah. Aku suka kota-kotanya. Terutama Heidelberg. Tapi aku memang tidak berencana untuk tinggal selamanya di Jerman. Karena di hatiku tetap terpatri negara kebanggaanku, Indonesia.

************************************

Hari Minggu pagi ini tidak seperti biasanya, rasanya cuma ingin berdiam diri di apartemen. Aku seperti tidak menemukan semangat untuk pergi keluar dari apartemen meski itu hanya sekedar mampir ke kedai kopi di seberang apartemen. Padahal biasanya aku selalu pergi jalan-jalan saat hari libur. Karena Jerman selalu mempunyai hal yang menarik untuk dikunjungi.

Victoria sejak pagi sekali sudah pergi ke pertemuan komunitas puisi yang dia ikuti. Jadi aku hanya sendirian saat ini mungkin sampai sore.

Sebenarnya Victoria mengajakku pergi bersamanya karena menurutnya belakangan ini aku selalu aneh dan hilang konsentrasi. Mulai mencuci wajahku dengan odol dan aku baru sadar setelah merasakan panas di wajahku, menorehkan facial scrub di sikat gigiku lalu aku menggosok gigiku dengan itu dan aku baru sadar saat merasa bahwa mulutku bau sabun, memasukkan piring kotor ke dalam kulkas dan menaruh pisang yang akan kumakan ke dalam bak cuci piring, hampir berangkat kerja membawa tas kain berisi sayuran bukannya membawa tas berisi laptop, dan masih banyak lagi.

Mood-ku juga masih belum membaik. Rasanya ingin pergi ke daerah preman lagi nanti malam untuk menghajar preman-preman di sana sekali lagi. Tapi aku sadar itu perbuatan yang tidak baik, maka aku mengurungkan niatku.

Sampai hari ini aku marah pada diriku sendiri. Marah karena menyesali keputusanku meninggalkan Indonesia tanpa pamit pada murid-muridku. Terutama pada Akhtar. Sejak aku meninggalkan Indonesia, Akhtar tidak pernah lelah menhubungiku. Tapi sejak dua tahun lalu, Akhtar berhenti mengirimkan e-mail atau SMS padaku. Mungkin ia mengetahui kabar rencana pernikahanku dengan Raven. Sehingga ia memutuskan untuk menghormati hal itu dengan tidak mengusikku lagi. Aku sebenarnya merasa mulai terbiasa tidak mengetahui kabar tentang Akhtar. Tetapi ternyata aku masih tidak bisa menahan kemarahanku saat melihat fotonya bersama gadis lain seperti yang aku lihat beberapa hari lalu.

Awalnya aku merasa aneh dengan inbox-ku yang kini berisi e-mail dari yang lain dan tidak ada deretan e-mail dengan nama pengirim Akhtar Dewantoro seperti biasanya. Tapi aku berusaha untuk membiasakan diri dengan hal itu dan menganggap e-mail dari Akhtar adalah bagian dari masa laluku yang aku harus segera move on darinya.

Tapi dari kemarahanku yang meluap dan mood-ku yang tidak kunjung membaik ini, aku merasa sepertinya aku belum sepenuhnya bisa melupakan kisahku dengan Akhtar.

Aku sadar bahwa aku tidak bisa membiarkan mood-ku terus jelek dan membuyarkan konsentrasiku. Sehingga kali ini aku memutuskan untuk meredamnya dengan mengaji.

Sepanjang pagi aku hanya mengaji. Hanya sesekali berhenti untuk minum. Aku heran mengapa aku sama sekali tidak bisa menangis. Padahal, aku merasa jika aku bisa menangis, nungkin perasaanku akan sedikit lega. Sehingga mood-ku mungkin akan membaik. Memang menangis itu tidak bisa menyelesaikan permasalahan. Tapi setidaknya, menangis bisa membuat perasaan sedikit lebih baik.

Aku meneruskan mengaji. Kali ini mataku sudah berkaca-kaca karena air mata sudah mulai keluar di pelupuk. Tapi anehnya... air mata itu mengering kembali.

Tiba-tiba perutku berbunyi karena lapar. Aku memutuskan untuk berhenti mengaji untuk makan beberapa potong roti terlebih dahulu karena memang sedari pagi aku belum sarapan sama sekali. Aku harus memenuhi hak tubuhku agar selalu sehat.

Kemudian aku mendengar HP-ku berbunyi. Bunyi yang jarang kudengar karena itu adalah bunyi untuk notifikasi bahwa sebuah SMS telah masuk ke inbox. Biasanya lebih sering terdengar notifikasi untuk e-mail masuk. Maka aku mengambil HP-ku yang tergeletak di atas meja depan sofa.

Saat aku membuka SMS yang masuk dan membaca isinya, HP-ku langsung terjatuh dari tanganku yang gemetar hebat.

Jantungku berdentum keras dan jari-jariku seperti tidak dialiri darah lagi karena terasa sangat dingin. Tenggorokanku rasanya sakit seperti habis menelan sebongkah batu. Aku memegang kepalaku yang mendadak pusing. Aku bisa merasakan suhu badanku naik seketika. Aku tidak bisa merasakan wajahku lagi. Pelipisku berdenyut-denyut.

Aku jatuh terduduk sambil meremas rambut di atas kedua telingaku. Dadaku terasa sakit sekali. Debaran jantungku yang menggila membuatku panik. Aku mulai terisak. Dan pada akhirnya, air mata yang aku tunggu meleleh juga. Lalu dalam posisi itu, aku pun menangis sejadi-jadinya.

SMS itu berisi :

From : Akhtar

Miss... aku akan datang ke Aachen.

Karen dan AkhtarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang