9. KAREN ( 14 tahun lalu)

168 7 0
                                    

     Raven menatapku dengan pandangan simpatik. Nampaknya dia sudah cukup sering melihatku dikerjai Malika and the gank. Tapi aku tidak mempedulikan Raven. Aku memilih diam saja kali ini. Aku kuatir menyemburkan kalimat-kalimat penuh amarah jika aku memilih untuk bicara.

     "Raven, benarkah yang kamu katakan bahwa tadi di depan perpus, Malika mengganggu Karen duluan?" tanya Bu Lisa serius. Bu Katrin tadi sewot berat dan akhirnya memerintahkan aku, Ira, Malika and the gank, dan Raven untuk menghadap Bu Lisa di Ruang BK. Akhirnya di sinilah kami saat ini. Diinterogasi.

     "Benar, Buk. Tadi saya lihat Malika dengan sengaja menendang tempat sampah di dekat Karen dan Ira." jawab Raven yakin. Malika semakin menciut dari kursinya mendengar hal ini. Wajahnya pucat. Begitu juga dengan ganknya, Stella, Rima, dan Tasya. Mereka kentara sekali sedang ketakutan. Stella tidak henti-hentinya meremas jari-jari tangannya. Rima menunduk dalam-dalam. Tasya menggigit bibir bawahnya dengan cemas.

     "Lalu, apa yang Karen lakukan setelah tempat sampahnya terguling?" tanya bu Lisa lagi pada Raven.

     "Karen sepertinya marah, tapi hanya sebatas itu saja. Lalu Karen memunguti sampah-sampah yang berserakan dibantu Ira dan beberapa teman." jelas Raven yakin. Dia kembali menatapku. Tapi aku hanya diam.

     "Ira, benarkah yang dikatakan Raven?" tanya Bu Lisa pada sahabatku yang duduk di sampingku dengan tenang.

     "InshaAllah memang itu yang terjadi, Bu Lisa." jawab Ira kalem sambil membetulkan letak ujung jilbabnya yang jatuh menjuntai.

     "Malika, benarkah apa yang dikatakan Raven dan Ira?" tanya Bu Lisa dengan nada tajam. Malika menciut mendengarnya. Belum lagi melihat tatapan mata Raven yang terlihat marah padanya.

     "I... iya, Buk." jawab Malika gugup.

     Bu Lisa mendengus keras. Nampak sekali beliau kesal pada Malika.

     "Baiklah. Raven, Karen, dan Ira, kalian boleh meninggalkan ruangan. Malika, Stella, Rima, dan Tasya, tetap di sini." lanjut Bu Lisa tegas.

     Aku beranjak dari kursiku diikuti Ira dan Raven. Biasanya dulu aku yang dihukum. Karena aku tidak ragu melakukan kekerasan saat marah. Entah menendang, memukul, atau mendorong lawanku. Tapi kali ini, karena aku tidak melakukan tindakan brutal baik fisik maupun verbal terhadap lawan, maka aku terbebas dari hukuman. Entah kenapa terbersit rasa bangga pada diriku sendiri karena berhasil mengendalikan marah. Tidak terasa, aku tersenyum sendiri karenanya.

     "Karen..." panggil Raven.

    Aku menoleh ke arahnya.

     "Kamu nggak apa-apa, kan?" tanya Raven sungguh-sungguh.

     "Ya. Aku nggak apa-apa." jawabku santai.

     Raven berjalan mendekat ke arahku. Ira yang tadi di belakangku, melihat hal ini buru-buru pindah ke sampingku. Aku sedikit bertanya-tanya mengapa Ira melakukannya.

     "Eeemm... kamu mau nggak nanti sore jalan bareng?" tanya Raven agak malu-malu setelah lebih dekat posisi berdirinya di depanku.

     Aku terkejut mendengar pertanyaan Raven. Aku merasakan Ira menyikut lenganku dengan lembut. Aku masih berusaha mencerna apa maksud semua ini. Aku memandang Raven yang kini berdiri agak kikuk menanti jawabanku.

     "Well... boleh aja sih. Tapi memangnya kita mau ke mana?" jawabku santai.

     Raven nampak senang mendengar jawabanku. Dia tersenyum manis dan baru nampaklah olehku ketampanannya yang dikagumi banyak cewek di sekolahku.

     "Mungkin ke toko buku dan makan. Eeemmm... dan kalo kamu mau, kita juga bisa... nonton." jawab Raven masih agak malu-malu.

     Jujur saja, Raven yang malu-malu begini kelihatan sangat mempesona dan imut bagiku. Mau nggak mau, akhirnya aku ikut tersenyum melihat tingkahnya.

     "Oke," jawabku setuju. "Kamu ikut juga kan, Ra?"

     Ira yang berdiri di sampingku mendelik kaget mendengar pertanyaanku. Raut wajahnya seperti mengatakan, 'What?? Of course not!'

     "Emm... sayangnya aku sore ini harus les. Jadi maaf, ya? Aku nggak bisa ikut." jawab Ira masih dengan pandangan yang berarti, 'Helloooow... tentu aja aku gak bakalan ikut kaliaaaaannn.'

     "Jadi cuman aku dan Raven?" tanyaku polos.

     "Iya. Udah nggak papa. Kapan-kapan aja pergi bareng aku. Oke? Eh, Raven. Ntar sore kamu ke kelas kami aja, ya?" cerocos Ira yang mendadak hilang kalemnya.

     Raven mengangguk, "Oke."

     "Sip! Sudah yuk, Karen. Kita ntar terlambat, lho! Sampai ketemu nanti, Ven!" pamit Ira sambil menggamit lenganku menjauh dari Raven yang tersenyum senang.

     Sesampainya di kelas, pelajaran sudah mau mulai. Aku melihat raut wajah Ira yang sangat sumringah.

     "Kamu kenapa, Ra?" tanyaku heran.

     Ira menatapku dengan pandangan penuh misteri. Lalu menjawab dengan nada yang bikin kesel, "Ada deeeeh."

     Aku nyengir mendengar jawaban Ira. Sebenarnya aku penasaran apa arti senyum misterius Ira. Tapi baru sorenya aku memahami apa arti senyum sumringah tapi misterius Ira.

     Raven rupanya sudah pulang duluan dan sekarang menunggu di luar kelasku. Langsung saja cewek-cewek di kelasku heboh melihat kehadiran Raven. Mungkin mereka heran mengapa cowok terpopuler sekolah sore ini nangkring di luar kelas. Karena biasanya yang nangkring di luar kelasku adalah kucing kantin yang gemuk dan pemalas. Well... kucing gemuknya masih ada sih, tapi makhluk keren yang duduk di sampingnya membuat perbedaan yang sangat mencolok sore ini.

     Malika and the gank yang melihat hal ini pun ikut heran mengapa Raven ada di luar kelas sore ini. Kentara sekali Raven sedang menunggu seseorang.

     Setelah Bu Katrin keluar kelas, kami pun mengemasi buku-buku kami. Ira yang biasanya kalem dalam mengemasi buku-buku dan alat tulisnya, sore ini seperti punya kekuatan super cepat dalam mengemasi barang-barangnya. Lalu dia juga buru-buru kabur keluar kelas setelah sebelumnya pamit padaku sekenanya.

     Saat selesai memasukkan buku terakhir ke dalam tas, aku berbalik dan melihat Raven sudah berdiri di depan bangkuku. Selanjutnya aku merasa keributan anak-anak berkemas pulang jadi mendadak senyap.

     "Sudah selesai?" tanya Raven memecah keheningan.

     "Yep." jawabku santai.

     "Yuk!" ajak Raven sambil tersenyum manis. Aku membalas senyuman manisnya dengan senyum tipis. Lalu aku keluar kelas diikuti Raven di belakangku.

     Sejurus kemudian, aku mendengar kehebohan di kelasku. Rupanya para kaum hawa di kelasku mengalami shock berat. Ada yang menjerit histeris, ada yang ngomel-ngomel, ada yang mengumpat kesal.

     Well... di situ barulah aku sadar, bahwa cowok yang berjalan di sampingku sore ini ternyata benar-benar sangat populer.

Karen dan AkhtarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang