61. Karen ( Saat Ini )

408 27 20
                                    

Setelah Akhtar dan Ayahnya pulang, Ibu membuntutiku ke kamar. Beliau membawakanku beberapa toples kecil kue kering dan lauk oseng-oseng kering tempe.

Aku duduk bersila di lantai sambil menyiapkan ranselku. Ibu duduk di ujung tempat tidur kapukku sambil memperhatikan aku packing.

"Kamu kok ndak pernah bilang ke Ibuk kalau Akhtar itu nggantengé nyundhul langit, Nduk."

Aku mendengus tertawa lalu tersenyum mendengar komentar ibuku. Tapi karena aku melihat ekspresi Ibu yang serius, maka aku memutuskan untuk menjawab dengan apa adanya.

"Sepertinya itu karena Karen baru sadar kalau Akhtar itu ganteng, Buk." jawabku santai sambil terus tersenyum. Lalu aku memasukkan beberapa toples kecil berisi kue dari ibu ke dalam tas ranselku yang akan aku bawa pulang ke Surabaya.

"Walaaah... kalau ibu, jelas sudah sadar sejak awal. Lha wong dulu saat ketemu Ayahmu juga gitu. Dari jauh saja ibu sudah bisa mencium aroma ngganteng Ayahmu." celoteh ibu riang.

Aku mendengar Ayah berdehem-dehem dari ruangan sebelah.

Aku tertawa. Rupanya Ayah mendengar celotehan Ibu barusan. Pipi ibu langsung bersemu merah karena tersipu.

Aku kembali merapikan isi ranselku. Isinya penuh sesak dengan makanan yang Ibu bawakan untukku.

Sebenarnya tadi Akhtar menawariku untuk pulang bersamanya. Tapi aku tidak mau. Aku masih ingin lebih lama bersama ayah dan ibuku. Beberapa minggu lagi, inshaAllah aku akan menjadi istri Akhtar. Aku ingin menikmati masa single-ku selama mungkin bersama Ayah dan Ibuku.

"Kamu juga ndak bilang kalau Akhtar itu dari keluarga kaya raya. Ibu sampai melongo saat Ayahnya bilang akan membooking ballroom hotel Horizon. Itu kan hotel bintang lima di Surabaya, Nduk." lanjut Ibu heran.

Aku tersenyum sambil menatap wajah Ibu. Aku memang tidak pernah menceritakan latar belakang keluarga Akhtar pada Ibu maupun Ayah. Aku sendiri merasa hal itu tidak terlalu penting.

"Itu karena Karen tidak pernah memperhatikan hal itu, Buk." jawabku akhirnya.

Ibuku tersenyum.

"Kamu ini memang anak ibu yang sip!" tanggap Ibuku bangga sambil mengacungkan jempol beliau padaku.

Aku mendengus tertawa.

"Tapi kamu harus hati-hati lho, Nduk." ujar Ibu serius.

"Hati-hati kenapa, Buk?" tanyaku heran.

"Akhtar itu ngguanteng, masih muda, dan kaya. Pasti banyak yang ngincer. Kamu harus melindungi suamimu itu. Eh... calon suamimu itu." lanjut Ibu serius.

Aku terdiam untuk berpikir.

"Apa Akhtar memang seganteng itu, buk?" tanyaku serius.

"Loh yok'opo anakku iki, rék!" seru Ibuku kaget.

Aku mengerjap-ngerjap tidak merasa bersalah.

"Tadi itu begitu Ibu tahu yang namanya Akhtar itu ngguanteng, rasanya Ibukmu ini kepingin langsung ngomong, 'Iya, Nak. Lamaranmu diterima.' Untung saja ibu masih bisa menahan diri. Ibu malah heran kamu ini ditaksir wong ngganteng kok malah kabur." celoteh Ibuku dengan lugas dan antusias.

Aku tertawa geli. Dalam hati aku membenarkan pendapat Ibu. Dulu saat masih kelas 3 SMA, Akhtar memang populer. Tapi mungkin karena aku selalu melihatnya bersama Ezra, Faiz, dan Belva yang juga tampan, aku merasa Akhtar tampan biasa saja.

Tadi siang saat ia datang, aku seperti baru benar-benar menyadari bahwa Akhtar memang mempunyai ketampanan yang tidak biasa karena ada campuran darah ras Kaukasoid Dinara dari ibunya. Wajahnya yang semakin tegas dan mata coklat terangnya membuat wajah Akhtar terkesan 'dingin'. Padahal ia mempunyai senyum polos seperti anak-anak.

Ya. Mungkin... Akhtar memang seperti kata Ibu.

Ngguanteng.

Dan beberapa minggu lagi, InshaAllah dia akan menjadi suamiku.

"Nduk..."

"Ya, Buk?" tanyaku menoleh pada Ibu yang membuyarkan lamunanku.

"Kamu sakit? Kok wajahmu merah begitu? Masuk angin, ya?" tanya Ibu sambil mengamati wajahku.

Aku gelagapan. "Enggak, Buk. Nggak apa-apa. Mungkin karena udaranya saja yang panas."

"Nduk..."

"Ya, Buk?"

"Ibu dan Ayah kepingin punya banyak cucu."

Aku terdiam tidak bisa menjawab. Aku hanya bisa merasakan seluruh wajahku memanas hingga ke telingaku.

"InshaAllah anak-anakmu nanti lucu-lucu. Lha wong bapaknya kayak bule gitu. Biasanya bayi bule kan lucu-lucu, Nduk." lanjut Ibu semakin riang.

Aku berdehem karena merasa tenggorokanku tiba-tiba gatal dan serak.

"Ibu nanti akan diskusi sama Ayahmu enaknya diberi nama apa kalau cucu Ibuk laki-laki atau perempuan. Ibuknya Akhtar orang Turki, kan? Berarti nama Turki sepertinya cocok." celoteh Ibu terlalu bersemangat.

"Buk, biar Karen makan siang dulu. Nanti keburu sore." sahut Ayah tiba-tiba muncul di depan pintu kamarku.

Aku memandang Ayah dengan perasaan lega. Ayahku datang di saat yang tepat sebelum Ibuku bicara lagi tentang calon cucunya di masa depan.

"Nduk..." panggil Ayah.

"Ya, Yah?"

"Sepertinya nama Fatih cocok untuk cucu Ayah jika laki-laki." lanjut Ayah sambil tersenyum lebar.

Aku hanya bisa melongo dengan wajah merah padam karena malu setengah mati melihat Ayah dan Ibuku tertawa riang karena membayangkan mereka akan segera menimang cucu yang lucu-lucu.

Karen dan AkhtarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang