33. Karen (9 Tahun Lalu)

165 10 0
                                    

     Aku terkejut Raven tiba-tiba mengirimiku pesan via e-mail bahwa dia sedang ada di Surabaya. Padahal seminggu lalu ia bilang masih belum pasti akan pulang ke Indonesia. Raven agak kecewa karena ternyata aku weekend ini tidak berada di Surabaya karena harus melakukan bakti sosial dan pasar murah. Karena itu Raven ingin menyusulku segera karena ia tidak punya banyak waktu untuk pulang kali ini. Ia hanya pulang seminggu saja, kemudian harus kembali lagi ke Heidelberg, Jerman. Ia juga masih harus menemui keluarganya sendiri. Terutama Eyang putrinya yang sangat menyayangi Raven. Karenanya Raven memutuskan untuk menyusulku ke desa Sumber Wangi tempat bakti sosial dan pasar murah diadakan.

     Saat Raven menelponku dan mengatakan sudah sampai di lokasi, aku sedang berada di pasar. Maka Raven pun menuju pasar untuk menyusulku.

     Senang rasanya bisa bertemu lagi dengan Raven. Karena sudah sekitar empat tahun lebih aku tidak bertemu dengannya sejak ia memutuskan kuliah di Jerman. Selain Ira, bagiku Raven adalah teman terbaikku di SMA.

Raven banyak bercerita tentang Jerman dan suka duka hidup sendiri di sana. Aku sangat antusias menyimak karena aku sendiri berencana meneruskan kuliahku di Jerman. Munpung Raven ada di sini, aku akan belajar darinya sebanyak mungkin.

Aku juga ingin cepat-cepat memperkenalkan Raven pada Akhtar, Ezra, Belva, Faiz, dan Farah. Siapa tahu kelima anak itu akan terinspirasi juga untuk rajin belajar dan meneruskan studi ke luar negri seperti Raven. Aku juga ingin mereka tahu bahwa Raven adalah salah satu orang yang berjasa membantuku menjadi Karen yang sekarang. Otak encer Raven banyak membantuku mengejar ketertinggalanku di beberapa mata pelajaran. Dia dengan sukarela mengajariku setiap hari Sabtu sepulang sekolah bergantian dengan Ira saat menjelang ujian.

Saat sampai di rumah sewaan, ternyata Akhtar sedang ada di teras rumah. Maka aku menyuruhnya untuk membantu Raven membawa belanjaan ke dapur, sementara aku akan memanggil Belva, Ezra, dan Faiz.

Seperti biasa, Faiz menyambut kedatanganku dengan riang. Tapi senyum riang Faiz langsung hilang saat melihat Raven. Aku juga heran melihat Akhtar dan Raven yang hanya saling diam tanpa ada tanda-tanda akan membawa belanjaan ke dapur atau saling memperkenalkan diri.

Saat Faiz bertanya siapa kah 'oom' yang ada di hadapannya sekarang, barulah aku sadar bahwa aku belum memperkenalkan Raven dengan layak pada murid-muridku itu. Maka aku akhirnya mengenalkan Raven pada Akhtar, Belva, dan Faiz dengan cara yang layak.

Faiz memasang tampang kesal setiap melihat ke arah Raven. Belva nampak mengamati Raven dalam diam. Akhtar nampak memasang tampang waspada seperti kuatir Raven adalah seorang kriminal. Saat berikutnya ketika Ezra datang dan aku memperkenalkan Raven padanya, nampak jelas bahwa Ezra mencurigai sesuatu tentang Raven. Aku beberapa kali melihat Ezra melirik Raven dengan raut wajah berpikir.

Bagaimana pun juga, aku tidak ingin berlama-lama di teras karena sudah saatnya mulai memasak makan siang. Maka aku segera mengajak semua orang di teras untuk pergi ke dapur dan mulai menyiapkan makan siang.

************************************

Raven dengan cekatan mengambil alih tugasku memasak di dapur. Sayuran, potongan bakso, udang, dan entah apa lagi yang dia masukkan ke dalam masakannya berhasil menebarkan aroma masakan yang menggugah selera. Raven sama sekali tidak canggung menggunakan apron biru polkadot yang dia temukan di dapur. Mungkin milik pemilik rumah sewaan ini. Dengan cekatan dia memotong, memasukkan bahan masakan dan bumbu masak yang sudah dia racik sehingga membuat kehadiranku dan Farah di dapur itu menjadi tidak berguna.

Farah nampak sekali sangat kagum melihat gaya Raven memasak. Kadang secara spontan Farah bertepuk tangan saat Raven membalik masakan dalam penggorengan hanya dengan satu tangan menggoyang wajan penggorengan.

Akhtar dan Faiz memperhatikan dari luar dapur sambil menyilangkan tangan di depan dada. Ekspresi wajah mereka nampaknya antara sedikit sebal tapi juga kagum pada Raven.

"My Queen, tolong kemari untuk mencicipi rasanya." ujar Raven sambil menghadap ke arahku lalu membungkuk hormat.

"Woi woi... tolong tidak menggombal di sini, saudara!" sahutku agak kesal tapi menuruti Raven untuk mendekat ke arahnya dan mencicipi rasa masakannya.

Aku duduk di kursi dapur lalu mencicipi masakan Raven. Raven melihat ke arahku sambil tersenyum percaya diri.

MasyaAllah! Ini enak sekali! Pikirku.

"So, how is it, my Queen?" tanya Raven masih tersenyum menunggu jawabanku. "

"Perfecto. Enaaak banget." jawabku sambil mengacungkan jempol padanya. "Nggak percuma kamu lama hidup sendiri di Jerman."

"Danke, my Queen." ujar Raven sambil membungkuk hormat. Aku meninju lengannya pura-pura kesal. Raven tertawa senang karena masakannya sudah aku approved enak.

Aku membawa hasil masakan Raven ke meja makan. Farah membantu membawa nasi putih. Akhtar dan Faiz membantu membawakan piring dan sendok.

Saat di meja makan, Ezra dan Belva nampak sedang ngobrol agak serius. Entah apa yang mereka bicarakan. Melihatku datang, mereka berdua segera membantu menata meja makan.

Farah memanggil guru-guru yang sedang berkoordinasi di ruang tamu untuk ikut makan siang bersama. Para guru langsung menyambut ajakan Farah dengan penuh suka cita. Mereka langsung menuju ruang makan untuk makan siang bersama.

Saat para guru menikmati makan siang, terdengar gumaman dan celetukan pujian bergantian dilontarkan.

"Wih, enak sekali ini." komentar pak Sigit. "Sopo sing masak iki, rék?" (Siapa yang memasak ini, kawan?)

"Iyo. Enak rasané. Tuku nang endhi masak'ané, Miss? (Iya. Enak rasanya. Beli dimana masakannya, Miss)?" tanya pak Ratno dengan mata berbinar. Senang karena rasa masakan yang memuaskan seleranya.

"Nggak beli, pak. Teman saya yang masak." jawabku sambil tersenyum.

"Teman Miss Karen?" tanggap Pak Ratno. "Mas Raven?"

"Iya, Pak." jawabku.

"Waaah... kalau begini caranya, Miss Karen pasti langsung jatuh cinta ya sama Mas Raven?" goda Pak Ratno, guru sejarah.

Aku hanya tertawa menanggapinya. Karena Pak Ratno memang gemar sekali bercanda sehari-harinya. Tapi Raven rupanya lagi kumat bandelnya dan ingin membuat suasana jadi semakin ramai.

"Mohon doanya ya, Bapak dan Ibu guru semua. Semoga saya dan Karen bisa langgeng." ujar Raven sambil tersenyum lebar.

"AAMIIN!" koor guru-guru dengan kompak dan antusias.

Aku melotot kesal ke arah Raven yang malah cengar-cengir bandel karena tidak merasa bersalah. Dasar!

Para guru yang menikmati masakan Raven rupanya benar-benar jatuh hati dengan rasa masakan Raven. Mereka antusias bertanya tentang resep masakan buatan Raven. Bahkan ada juga yang sampai bertanya tentang latar belakang Raven dan apa sebenarnya hubungan Raven denganku.

Raven menjawab semua pertanyaan dengan ramah dan sabar. Aku tahu sebenarnya ia capek dan karena sudah empat rahun lebih hidup di Jerman, ia harus membiasakan diri lagi dengan kebiasaan orang Indonesia yang kepo. Tapi Raven nampak tidak terganggu dan terlihat cukup menikmati semua perhatian yang tertuju padanya.

Keempat anak bandel yang biasanya mengobrol satu sama lain saat makan, kini hanya makan dalam diam. Belva makan dengan ekspresi datar. Ezra nampak tidak berminat mendengarkan kehebohan para guru. Akhtar terus memandang ke arah piringnya, dan yang mengejutkan adalah Faiz juga sama sekali tidak bersuara. Padahal biasanya dia selalu ramai memulai pembicaraan. Mereka kini terlihat sangat cocok makan bersama Farah yang dari dulu memang sangat pendiam.

Saat mencuci piring, bu Dewi, guru Sosial, sengaja mendekatiku untuk bicara sambil bisik-bisik. "Miss Karen, laki-laki seperti Mas Raven itu jarang, lho. Kalau dia melamar, langsung diterima saja. Oke?"

Aku hanya bisa tersenyum menanggapinya. Harus aku akui, aku merasa Raven hari ini sangat keren. Melihatnya sangat cekatan dan tidak malu melakukan pekerjaan rumah tangga, membuat aku salut padanya. Pengorbanannya untuk menyempatkan diri menemui dan membantuku di sini membuatku merasa berterima kasih padanya.

Karen dan AkhtarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang