Siangnya setelah sholat Dhuhur dan makan siang, aku mengantar Raven pulang sampai ke depan pagar rumah sewaan. Raven harus menemui ibu dan Eyang Putrinya. Eyang Putri Raven adalah keturunan bangsawan Jawa yang sangat memegang adat dan tradisi. Beliau awalnya melarang Raven untuk kuliah di Jerman karena kuatir cucu kesayangannya akan menjadi kebarat-baratan.
"Hopefully I will see you soon, Karen," ujar Raven saat pamit padaku. Ia nampak enggan pulang tapi juga tidak bisa menolak permintaan Eyang Putri yang sangat ia sayangi untuk cepat kembali dan menemui beliau. "In Germany."
"Aamiin. Terima kasih atas doanya. Terima kasih juga kamu sampai menyempatkan datang ke sini dan bantu-bantu banyak hal. My job suddenly become a lot easier." tanggapku penuh terima kasih.
"Aku pamit, ya? I'll contact you soon." pamit Raven sambil berjalan menuju mobilnya.
"Okay." ujarku sambil membentuk isyarat tangan 'OK' padanya.
Raven masuk ke mobilnya, lalu pergi meninggalkan aku yang melambaikan tangan padanya dengan semangat.
Setelah Raven pergi, aku kembali masuk ke dalam rumah untuk istirahat dan beres-beres supaya besok pagi saat pulang ke Surabaya semuanya sudah siap. Para guru juga sedang beres-beres di beberapa sudut rumah. Ada yang di kamar, ada juga yang mengepak kembali barang-barang yang harus dikembalikan ke sekolah.
Ezra tiba-tiba datang menemuiku yang sibuk mengepak barang-barang milik sekolah yang harus kami bawa kembali. Ia langsung duduk dan ikut membantuku packing. Rambutnya seperti biasa dikuncir rapi dan menyisakan beberapa helai rambut jatuh di wajahnya yang sangat tampan sampai seperti perempuan.
"Mana yang lain?" tanyaku agak heran melihat Ezra sendirian.
"Sedang istirahat dan giliran mandi, Miss." jawab Ezra sambil memotong lakban.
"Kamu sendiri sudah packing?" tanyaku lagi sambil memasukkan beberapa kertas HVS ke dalam kardus.
"Alhamdulillaah, sudah."
Kami mengepak barang tanpa bicara beberapa saat. Kemudian aku menyadari bahwa sepertinya Ezra ingin mengajakku bicara berdua saja. Karena itu dia menunggu ketiga sahabatnya tidak ada di dekatnya. Tapi aku sengaja membiarkan agar Ezra memulai sendiri pembicaraannya tanpa kutanya. Karena mungkin dia membutuhkan waktu untuk menata hatinya dahulu. Sedangkan aku juga tidak ingin mendesaknya untuk bicara.
"Miss..."
"Hm?"
"Bisa ngobrol sebentar?"
Aku menghentikan kegiatan packingku dan menoleh kearahnya. "Tentu." jawabku sambil mengangguk.
"Apa siswa kelas tiga nggak boleh sering ijin nggak masuk sekolah?" tanya Ezra.
"Well... nggak hanya kelas tiga. Semuanya juga begitu sebenarnya. Intinya, kalau nggak ada urusan yang mendesak ya memang lebih baik tidak ijin. Untuk kelas tiga memang agak spesial karena mereka akan menghadapi ujian akhir, maka tentu diharapkan untuk tidak sering ijin," jawabku sambil tersenyum ramah padanya. "Kenapa? Kamu mau ijin?"
Ezra diam sejenak. Sepertinya dia sedang mempertimbangkan apakah dia akan cerita padaku atau tidak. Jari-jari kurusnya yang memegang lakban tiba-tiba menegang. Lalu beberapa saat kemudian, Ezra akhirnya bicara.
"Ibu saya sakit kanker, Miss."
Aku tertegun mendengarnya. Aku sudah menduga bahwa Ezra memendam kesedihan, tapi aku tetap tidak menduga bahwa ternyata beban kesedihan Ezra sebesar ini.
Aku memandang Ezra dalam diam. Aku mengamati raut wajah Ezra yang berubah murung. Baru saja Ezra mengucapkan kalimat yang mungkin sudah dipendamnya sejak lama. Aku memilih untuk membiarkan Ezra melanjutkan ceritanya tanpa kusela.
"Saya harus mengantar beliau kontrol rutin ke rumah sakit dan juga kemoterapi tiap seminggu sekali. Semua harus saya lakukan pagi hari, karena hanya itu jadwal yang tersedia di Rumah Sakit. Karenanya saya bakal sering terlambat dan tidak masuk sekolah. Terutama saat saya harus mengantar dan menunggui ibu kemoterapi." jelas Ezra getir. Jari-jari kurusnya menggenggam lakban dengan erat pertanda dia sebenarnya telah mengerahkan segala keberaniannya untuk menceritakan hal ini padaku.
"Maaf Miss menanyakan ini, tapi... dimana ayahmu, Ezra?" tanyaku hati-hati.
Rahang Ezra mengeras mendengar kalimatku. Nampak sekali ada kemarahan pada wajahnya. Sorot matanya tajam dan nampak sangat terluka batinnya.
"Ayah pergi meninggalkan ibu sejak tahu bahwa ibu mengidap kanker. Saya tidak tahu dimana ayah sekarang. Tapi saya juga nggak mau tahu." jawab Ezra geram.
"Jadi... siapa yang membantu kehidupanmu sehari-hari? Biaya sekolahmu bagaimana? Apakah kamu bekerja paruh waktu?" tanyaku beruntun karena tiba-tiba merasa sangat prihatin pada muridku yang satu ini.
"Saya kerja paruh waktu di café. Saya bermain musik. Kadang main gitar, kadang juga piano. Upahnya lumayan. Karena cafénya cukup besar, Miss. Alhamdulillaah bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari saya dan ibu serta biaya sekolah. Untuk biaya kemoterapi, ibu masih mempunyai beberapa simpanan uang di bank. Itu yang kami gunakan sementara ini." jelas Ezra tegar.
Aku memandang Ezra dengan pandangan kagum tapi sekaligus juga prihatin. Anak semuda ini sudah mampu mengurus keluarganya dengan penuh tanggungjawab.
"Jadi, kamu berharap Miss akan membantumu mendapatkan dispensasi?" tanyaku berusaha menebak tujuan Ezra menghadapku.
"Jika itu memungkinkan. Jika tidak, saya akan berhenti sekolah saja." jawab Ezra murung.
Aku tersenyum karena bersimpati pada Ezra. Semangatnya untuk sekolah masih sangat besar. Anak seperti ini harus dibantu semaksimal mungkin.
"Ezra, nggak ada yang harus berhenti sekolah di sini. Miss ingin melihat kalian semua lulus dengan baik. Miss akan membicarakan hal ini dengan kepala sekolah. InshaAllah Miss akan mengusahakan ijin spesial untuk kamu kepada kepala sekolah. InshaAllah beliau bisa memahami dan mengerti situasimu." jelasku mencoba menenangkan dan memberi dia semangat agar tetap optimis.
"Terima kasih sekali, Miss. Saya sangat terbantu kalau hal itu dibolehkan. Saya juga ingin lulus dengan baik." tanggap Ezra mendadak menjadi antusias. Wajah murungnya berubah sedikit ceria. Wajah orang yang mempunyai harapan tersisa. "Saya... ingin membuat ibu saya bangga dan senang."
Aku sangat terharu mendengarnya. Aku menatap Ezra dengan penuh simpati. "Miss doakan semoga ibumu lekas sembuh."
"Terima kasih, Miss. Sungguh, saya sangat berterima kasih." ujar Ezra sambil tersenyum manis. Nampak sekali rona kelegaan, kebahagiaan, dan optimisme di wajahnya sekarang. Aku ikut tersenyum melihat Ezra begitu bahagia.
"Ezra..."
"Ya, Miss?"
"Terima kasih ya? Miss senang karena kamu mau berbagi cerita. Kalau begini, Miss jadi tahu bagaimana cara membantumu." kataku lega karena Ezra sudah mau jujur padaku tentang masalahnya.
Ezra tersenyum padaku.
"Miss..."
"Hm?"
"Sekarang saya tahu mengapa Miss Karen bagi saya sangat istimewa."
Aku langsung melongo mendengar kalimat Ezra. Bingung mau menanggapi apa. Mataku mengerjap-ngerjap berusaha ikut mencerna kalimat Ezra barusan.
Ezra tersenyum geli melihat reaksiku.
"Sejujurnya, dua sahabat baik saya juga ngefans berat pada Miss Karen." celetuk Ezra. Dia tersenyum penuh arti. "Bahkan mungkin ada yang lebih."
"Ha?" Aku semakin melongo mendengar celetukan Ezra dan ingin bertanya lebih jauh. "Ap-..."
Kalimatku menggantung di udara karena Ezra tiba-tiba sudah bangkit berdiri dan mengangkat kardus di hadapanku yang baru selesai kusegel. Kemudian dia melangkah pergi ke ruang tamu meninggalkan aku yang masih berusaha memahami kalimatnya ditemani lakban dan gunting di tanganku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Karen dan Akhtar
Historia CortaAku tak menyangka, ternyata kamu orangnya. Aku mencari apa yang membuatmu istimewa. Tapi aku pun tidak perlu melakukannya. Karena kamu istimewa sebegitu alaminya. Dalam pergulatan batin aku temukan bahwa ketika logika tak lagi bekerja, Allah akan tu...