45. Karen (4 Tahun Lalu)

160 14 2
                                    

     Jalan tol agak padat siang ini. Mungkin karena hari Minggu. Cuaca panas kota Surabaya sangat terasa. Mulai dari teriknya sinar matahari yang  membuat mataku silau, sampai pada jalan aspal panas yang tak jarang menimbulkan fatamorgana.

     Aku dan Raven sedang menempuh perjalanan pulang dari Malang, tempat rumah Eyang putri berada. Kami berdua lebih banyak diam. Meski begitu, otak kami rasanya begitu ramai dengan aneka pemikiran. Raven masih belum berbicara sepatah kata pun sejak ia meninggalkan rumah Eyang putri dengan marah. Rupanya ia benar-benar sangat kesal dan kecewa.

     Aku melihat ke arah Raven yang menggenggam kemudi mobil dengan erat. Rona bahagia yang ia tampakkan tadi pagi saat menjemputku, kini hilang tidak bersisa berganti dengan raut wajah penuh marah.

     Aku berusaha agar keheningan ini segera hilang. Karena kami berdua harus bicara. Masalah ini tidak boleh kami biarkan tanpa ada penyelesaian.

     "Ven," mulaiku dengan hati-hati. "Kita ambil hikmahnya saja."

     Raven menoleh sekilas ke arahku, lalu kembali konsentrasi melihat jalan. Dia masih diam. Sepertinya ia mengijinkanku untuk melanjutkan bicaraku.

     "Kita jadi tahu kan kalau menentukan masa depan berdasarkan weton itu sama sekali nggak masuk akal." lanjutku berusaha menenangkan Raven yang gusar luar biasa sejak kami berdua pulang dari rumahnya.

     Raven tetap tidak menanggapiku. Dia hanya diam sambil menatap lurus ke depan. Ia tetap meremas kemudi mobilnya dengan penuh marah. Karenanya aku memintanya untuk menepi di rest area jalan tol yang menuju arah kota Surabaya karena kuatir dia tidak bisa fokus mengemudi karena sedang dalam kondisi emosi yang meledak-ledak. Untungnya ia menuruti kemauanku.

     Raven memarkir mobilnya di tempat yang sejuk di bawah bayang-bayang pohon trembesi besar yang bunyi gemerisik daunnya menenangkan. Dia tidak mematikan mesin mobilnya karena udara di luar panas sekali sehingga kami masih membutuhkan AC mobil untuk menyala. Raven masih diam tidak bicara sepatah kata pun. Aku menduga dia sedang berusaha menenangkan dirinya sendiri dan mencari solusi dari masalah yang sedang kami hadapi.

     Aku memutuskan untuk menunggu sampai Raven memutuskan untuk memulai pembicaraan. Laki-laki biasanya membutuhkan waktu sendirian untuk berpikir. Maka aku tidak ingin mendesak Raven dengan memaksanya untuk mendengarkan apa yang aku katakan.

     Aku memeriksa HP-ku yang sedari tadi aku biarkan di dalam handbag tanpa kusentuh sama sekali. Ada e-mail masuk. Saat aku cek, ternyata dari Ira. Isinya singkat saja. Tapi aku pasti membutuhkan waktu cukup lama untuk menulis balasannya.

     'Jadi gimana hasilnya, Ren?
Kapan nih aku bisa nerima undangannya? ;)'

     Aku menghela napas dalam-dalam dan menghembuskannya pelan-pelan untuk menenangkan diri.

     Raven langsung melihat ke arahku. "Kamu nggak apa-apa?"

     Aku menoleh padanya lalu tersenyum untuk menenangkannya. "Ya. Tentu."

     Raven kembali memandang lurus ke depan. Rahangnya mengeras. Lalu akhirnya dia berkata, "Kita tetap menikah saja, Ren. Nggak usah peduli apa pendapat keluargaku."

     Aku diam sejenak sebelum menanggapinya. Aku harus hati-hati memilih kata-kataku agar tidak membuat Raven semakin marah. Aku tidak ingin masalah ini semakin melebar.

     "Ven, aku mohon dengarkan pendapatku," ujarku berusaha untuk memilih kalimat yang tepat. Raven menoleh ke arahku. Dari ekspresi wajahnya, aku tahu ia mau mendengarkan aku. "Menikah itu bukan tentang diri kita berdua aja. Jika kita menikah, itu artinya kita menyatukan dua keluarga besar kita juga."

Karen dan AkhtarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang