Heidelberg.
Salah satu kota tua di Jerman yang selamat dari keganasan Perang Dunia ini selalu berhasil menebarkan pesonanya. Kastil Heidelberg yang usianya sudah berabad-abad menambah kecantikan kota ini. Salah satu bagian paling menarik dari kota ini adalah adanya Fußgängerzone (jalan khusus untuk pejalan kaki) sepanjang 1,6 km yang memungkinkan para pejalan kaki menikmati indahnya kota Heidelberg tanpa terganggu lalu lalang kendaraan. Bangunan-bangunan tua yang didominasi bahan batu berwarna coklat kekuningan dan coklat tua berjajar di sepanjang sungai Rhein-Neckar.
Para turis domestik dan mancanegara seolah tidak pernah habis bersliweran di sana-sini. Ada yang sedang asyik berfoto, ada yang duduk-duduk di cafe terbuka yang cantik, ada yang hanya asyik berjalan santai sambil mengobrol bersama teman atau pasangannya.
Kota yang penduduknya tidak sampai dua ratus ribu jiwa dan seperempatnya merupakan pelajar ini benar-benar nyaman. Aku tidak heran Raven sangat kerasan di sini sampai hampir sembilan tahun lamanya.
Setelah empat tahun lalu aku mulai menyadari perasaanku, aku memutuskan untuk datang ke Jerman lebih cepat. Entah mengapa aku berubah jadi seorang pengecut saat berhadapan dengan keseriusan seorang Akhtar. Bahkan saat harus mengajar di kelasnya saja rasanya aku tidak sanggup. Aku menjadi takut menghadapi kenyataan selanjutnya jika aku lebih lama berada di tanah air. Maka aku terpaksa berangkat tanpa pamit karena aku tahu, Akhtar akan mudah sekali menyusulku ke Jerman jika dia tahu dimana keberadaanku. Kalau hal itu sampai terjadi, maka semua hal akan menjadi semakin rumit bagiku dan aku sama sekali tidak siap menghadapinya.
Aku memarahi diriku sendiri karena nekad memutuskan untuk pergi tanpa pamit pada murid-muridku. Tapi sungguh aku tidak bisa memikirkan jalan keluar terbaik selain hal itu.
Aku sengaja tidak meninggalkan keterangan detail pada para guru di sekolah tentang dimana aku melanjutkan studiku. Aku hanya memberitahukannya pada Bapak Keplala Sekolah dan aku pun memohon agar beliau bisa merahasiakan dimana aku kuliah. Aku juga mewanti-wanti Ira agar jangan sampai dia memberi informasi apapun tentang keberadaanku pada siapa pun. Aku bahkan tidak memberitahu Ira di kota mana aku tinggal. Aku juga mewanti-wanti Raven agar tidak memberitahu Ira dimana aku kuliah. Aku jadi merasa seperti buronan yang melarikan diri dari kejaran Interpol. Tapi aku melakukan hal itu karena aku berniat ingin memulai kehidupan yang baru di Jerman.
Meski begitu, aku tidak pernah mengganti nomor ponselku agar kedua orangtua dan keluargaku tetap bisa menghubungiku. Tentu saja keputusan ini beresiko besar. Karena Akhtar juga menjadi selalu bisa menghubungiku meski aku sama sekali tidak pernah meresponnya. Aku meyakinkan diriku sendiri bahwa lama kelamaan Akhtar pasti akan berhenti menghubungiku jika aku tidak pernah menanggapi apa pun bentuk usahanya membangun komunikasi denganku.
Aku membaca notifikasi pesan masuk di HP-ku yang sudah aku baca sejak dua hari lalu.
Akhtar Dewantoro tagging you in a post.
Aku menghela napas dalam-dalam untuk meredakan debaran jantungku. Tiap kali Akhtar berusaha menghubungiku, aku merasakan sesuatu yang sama seperti saat aku bertemu langsung dengannya. Tiba-tiba pasti aku menjadi gugup, cemas, kuatir, dan... takut.
Ini sudah empat tahun sejak aku meninggalkan Indonesia untuk menjalani program beasiswa di Aachen, Jerman. Sudah merupakan cita-citaku sejak kecil untuk bisa bersekolah di universitas tempat BJ. Habibie menimba ilmu. Setahun pertama merupakan saat-saat terberat bagiku karena harus beradaptasi tidak hanya dengan bahasa, budaya, lingkungan dan cuaca, tapi juga makanan. Tidak ada nasi pecel, gado-gado, lontong balap, dan rujak cingur di Aachen. Adanya adalah roti, sosis, dan... sosis lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Karen dan Akhtar
Kısa HikayeAku tak menyangka, ternyata kamu orangnya. Aku mencari apa yang membuatmu istimewa. Tapi aku pun tidak perlu melakukannya. Karena kamu istimewa sebegitu alaminya. Dalam pergulatan batin aku temukan bahwa ketika logika tak lagi bekerja, Allah akan tu...