10. Akhtar (9 Tahun Lalu)

165 9 0
                                    

    Setelah makan siang di kantin, aku bersama Belva, Ezra, dan Faiz nongkrong di halaman samping sekolah yang jarang dikunjungi orang. Tempatnya agak kotor karena sampah daun kering dan tidak ada tanaman yang indah untuk dilihat. Karenanya tidak ada yang suka nongkrong di sana. Kecuali kami berempat. Kami menyukai tempat itu karena tersembunyi, sepi, dan banyak bunyi gemeresak dedaunan tertiup angin sepoi yang menenangkan.

    "Kalian nanti pulangnya nggak usah bareng aku, ya? Aku ada urusan."

     Kalimat Belva barusan otomatis mengaktifkan radar waspada milikku, Ezra, dan Faiz.

     "Kamu mau berantem lagi?" tanya Ezra kalem. Tapi sorot matanya menyelidik ke arah Belva.

     Belva yang tidak pandai berbohong hanya bisa mengangkat bahunya sambil tersenyum tengil.

     "Gila kamu, Bel! Sekarang anak mana lagi?" tanya Faiz mulai kuatir.

     "SMA Bina Siswa." jawab Belva santai sambil memasukkan tangannya ke saku celana samping.

     "Penyebabnya?" tanyaku sambil mengamati raut wajah sahabatku itu.

     "Biasa... mereka kalah bertanding baseball." jawab Belva kalem.

     "Berapa anak?" tanya Ezra menyelidik.

     "Lima mungkin. Bisa lebih. Yaaa biasa lah... pengecut mainnya suka keroyokan." sahut Belva tanpa beban.

     "Bel, kamu tahu resikonya kalau kamu berantem lagi, kan? Kamu bisa kena skors!" ujarku memperingatkan Belva yang sudah beberapa kali dipanggil ke kantor kepala sekolah gara-gara berkelahi.

     "Iya. Aku ingat, kok! Tapi ini sulit dihindari. Aku sudah niat tobat dan nggak berantem lagi. Lah tapi sononya yang ngajakin berantem melulu. Ntar kalau nggak dilayani, aku dikatain banci. Repot kan?" jelas Belva membela diri.

     "Sudah tahu mereka main keroyokan, kamu malah mau datang sendiri? Kamu sudah terlalu PD, Bel!" kritik Faiz.

    "Nggak penting menang atau kalah, Iz. Pokoknya yang penting mereka sudah puas dilayani tantangannya. Masalah selesai." sanggah Belva lagi.

     "Siapa yang main tantangan?"

     Aku, Ezra, Belva dan Faiz terkesiap dan segera menoleh ke arah sumber suara.

     Miss Karen tiba-tiba sudah berdiri di belakang Ezra dengan ekspresi datar.

     Hening sejenak. Tidak ada yang berani bicara.

     "Waaaah... ada Miss Kareeeen. Kebetulan kami lagi main truth or dare, Miss." seru Faiz memecah keheningan sambil mendekat ke arah Miss Karen dengan senyum mengembang.

     "Ooo...," tanggap Miss Karen kalem. Ia kini melangkah lebih dekat ke arah kami. "Lalu tantangannya harus berantem?" 

     Nada bicara Miss Karen yang tanpa beban sangat mengagetkan kami. Ia melemparkan pandangan ke arah wajah kami satu-persatu. Sepertinya berusaha membaca apa yang ada di dalam benak kami berempat saat ini.

     Kami berempat terperangah kaget. Kami sama sekali tidak menduga bahwa ternyata Miss Karen mendengar pembicaraan kami dengan cukup jelas.

     "Dimana?" lanjut Miss Karen kembali bertanya tanpa menunggu jawaban kami. Kentara sekali bahwa Miss Karen mendengar cukup lengkap pembicaraan kami. Ekspresi wajahnya yang datar dan tanpa emosi membingungkan kami untuk menebak apakah Miss Karen saat ini sedang marah atau tidak. Sikap berdirinya yang santai dan cenderung cuek membuat kami semakin tidak bisa memutuskan apa yang sebaiknya kami berempat lakukan untuk menanggapi pertanyaan Miss Karen barusan.

Karen dan AkhtarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang