62. Akhtar ( Saat Ini)

190 18 4
                                    

Seperti mimpi rasanya saat Miss Karen mengangguk menyetujui untuk bersamaku selamanya. Pipinya yang merona sambil menatapku sekilas, tidak bisa aku lupakan.

Setelah menentukan rencana hari pernikahan, kami membicarakan akan seperti apakah pernikahanku dan Miss Karen nantinya. Ternyata Miss Karen dan keluarganya tidak menghendaki pesta pernikahan yang mewah meski aku mampu membiayai semuanya jika mereka mau. Mereka hanya ingin mengundang keluarga terdekat, para sahabat, dan anak-anak yatim. Bahkan calon istriku itu tidak meminta mahar yang mewah. Ia hanya meminta seperangkat alat sholat, Al-Qur'an, dan sebuah bibit pohon trembesi berukuran tinggi dua meter.

Mengetahui hal itu, Ayahku malah seperti ingin menghamburkan uangnya untuk Miss Karen dan keluarganya. Hal itu karena Ayahku merasa salut bahwa keluarga Miss Karen benar-benar tidak memandang status sosial dan kekayaan keluargaku. Begitu Ayah mendengar bahwa Miss Karen ingin mengundang anak-anak yatim, Ayah langsung merencanakan membooking ballroom hotel Horizon untuk mengundang seribu anak yatim. Sedangkan untuk para undangan rekan bisnis ayah dan keluarga akan diundang untuk datang ke rumahku untuk menghadiri resepsi berupa pesta kebun yang diadakan Ayah. Untuk ijab kabul akan diadakan di rumah Miss Karen dan dihadiri hanya oleh keluarga dan tetangga terdekat.

Awalnya Miss Karen merasa keberatan karena hanya ingin ada proses ijab kabul di rumah Miss Karen lalu dilanjutkan makan-makan bersama keluarga, tetangga, dan anak-anak yatim. Namun, karena memandang situasi dan kondisi keluargaku, terutama Ayahku yang pasti ingin mengundang semua rekan bisnisnya, maka Miss Karen akhirnya menyetujui untuk mengadakan acara di tiga tempat. Yaitu di rumahnya, di rumahku, dan di ballroom hotel Horizon.

Sepulangnya dari rumah Miss Karen, Ayah seperti kelebihan energi dan langsung menyuruhku menyiapkan banyak hadiah mewah untuk calon menantunya itu. Ayah terperangah saat Miss Karen hanya meminta mahar yang sangat sederhana dan mudah. Kata Ayah, wanita seperti calon menantunya itu memang tidak akan meminta karena harga dirinya yang tinggi. Tapi ia layak mendapatkan semua kemewahan yang ada di dunia. Ayah merasa sangat yakin, calon menantunya tidak akan menolak jika pemberiannya itu berupa hadiah.

"Tar, kamu harus beli cincin pernikahan terbaik yang mampu kamu beli. Tanya pada calon istrimu, dia ingin bulan madu kemana? Apa mau keliling Eropa? Orang tuanya belum haji, kan? Kamu daftarkan segera. Kita berangkat haji bersama. Tanya dia apakah butuh mobil untuk dia sendiri. Nanti ayah belikan sebagai hadiah pernikahan. Ayah perhatikan dia juga sama sekali tidak mengenakan perhiasan. Mungkin nanti kamu bisa membelikan dia gelang Cartier yang mirip dengan milik ibumu."

Aku mendengus tertawa melihat hebohnya Ayah. Aku katakan pada beliau bahwa calon menantunya adalah sosok pribadi yang tidak banyak menuntut dan sangat sederhana. Jika dihujani aneka kemewahan aku malah merasa kuatir hal itu akan melukai harga dirinya.

"Oooh begitu ya?" tanggap ayah. "Kalau begitu bertahap saja. Hadiah pernikahan, bulan madu, kemudian tiap bulan beri dia hadiah."

Aku kembali mendengus tertawa mendengar jawaban Ayah.

"Ayah sepertinya senang ya mau punya anak perempuan?" godaku.

Ayah tertawa. Sadar akan kehebohan dirinya yang tidak biasa.

"Iya. Tentu saja. Ayah selalu ingin punya anak perempuan. InshaAllah sebentar lagi Ayah akan mendapatkannya." ujar Ayah dengan mata berbinar.

Aku tersenyum mendengar jawaban Ayah. Ayah pasti bahagia karena memang sangat ingin anak perempuan. Kondisi kesehatan ibuku yang menurun membuat beliau harus mengubur keinginannya memiliki anak lagi. Apalagi anak perempuannya nanti adalah sosok berkarakter kuat yang membuat Ayahku yakin bisa membantu mengurus perusahaannya.

"Tapi, Tar..." ujar Ayah tiba-tiba.

"Ya, Yah? Ada apa?" tanyaku penasaran sanbil terus memperhatikan jalan.

"Ayah juga senang karena sebentar lagi InshaAllah Ayah akan bermain bersama cucu-cucu Ayah. Punya banyak cucu sepertinya menyenangkan sekali." lanjut Ayah senang sambil menepuk pundakku.

Aku langsung tersedak dan terbatuk-batuk mendengarnya.

"Hei... anak Ayah ternyata bisa malu-malu juga ya?" goda Ayah sambil tertawa lepas. Beliau senang telah berhasil membalas godaanku dengan telak.

Aku berdehem lalu kembali mencoba berkonsentrasi melihat jalan.

Sebenarnya, sejak aku diwisuda kelulusan SMA, aku memang bercita-cita punya banyak anak. Hadir di acara wisuda hanya berdua dengan Ayah membuatku merasa kesepian karena keluarga lain rata-rata begitu ramai karena membawa banyak anggota keluarga. Ternyata hadir di acara penting seperti wisuda akan lebih seru rasanya jika ada banyak anggota keluarga yang hadir. Apalagi karena aku dan calon istriku sama-sama anak tunggal. Sepertinya akan seru jika keluarga kami bertambah banyak anggotanya. Meski demikian, tetap saja pembahasan ini membuatku rikuh di depan Ayah.

"Tar..."

"Ya, Yah?"

"Karen suka anak kecil, kan?"

Aku terdiam sejenak memikirkan jawaban dari pertanyaan ayah.

"Sepertinya iya." jawabku akhirnya. Aku kembali.konsentrasi melihat ke jalan.

"Berarti bisa..." gumam Ayahku sambil melihat ke arah jalan.

Aku yang bingung melihat sekilas ke arah Ayah lalu bertanya, "Bisa apa, Yah?"

Ayah memandangku dengan mata berbinar bahagia, lalu menjawab dengan raut wajah senang,"Bisa ngurus banyak anak."

Aku melongo mendengar kalimat Ayah. Lalu kembali berusaha fokus menyetir.

"Tar..."

"Ya, Yah?"

"Kenapa pipimu merah begitu, Tar?" goda Ayah. "Ayah jarang sekali melihatmu seperti ini kecuali saat kamu masih bayi."

Aku memang merasakan pipiku memanas hingga ke telinga. Aku hanya tersenyum sambil sekilas menoleh memandang Ayah.

"Sepertinya cucu Ayah nanti InshaAllah bakalan lucu-lucu. Seperti saat kamu masih bayi dulu. Kamu begitu gemuk dan menggemaskan. Pipimu mudah merona saat tertawa dan Ayah sangat terkesan dengan mata coklat terangmu yang persis milik ibumu." lanjut Ayah dengan mata menerawang mengingat masa lalu.

Aku berdehem.

Ayah menoleh padaku, lalu berkata, "Saat kamu jadi ayah nanti, kamu akan merasakan apa yang Ayah rasakan. Ayah tidak bisa lupa saat pertama kali kamu membuka mata dan melihat Ayah dengan mata coklat terangmu."

Aku diam saja. Sengaja membiarkan Ayah larut dalam nostalgia.

"Tar..."

"Ya, Yah?"

"Kalau anakmu perempuan, sepertinya nama Alara cocok." ujar Ayah dengan senyuman penuh kasih saat kulihat dari kaca spion.

Aku tersenyum. Alara adalah nama ibuku. Meski sudah lama ibu telah tiada, Ayahku sama sekali tidak ada niatan untuk menikah lagi. Bagi Ayah, satu-satunya wanita yang membuatnya jatuh cinta adalah ibuku.

Sama sepertiku.

Bagiku, satu-satunya wanita yang membuatku jatuh cinta hanya Miss Karen.

Karen dan AkhtarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang