14. Akhtar (9 Tahun Lalu)

164 17 0
                                    

Setelah mengantarkan Belva pulang, aku memacu mobilku pulang ke rumah. Badanku terasa pegal dan di beberapa tempat sepertinya terasa agak perih.

Sesampainya di rumah, aku langsung melesat masuk ke kamar tanpa mempedulikan Bik Sumi yang nampak bertanya-tanya melihat wajah lebamku. Tapi Bik Sumi yang sudah lama menjadi asisten rumah tangga di rumahku sepertinya memahami bahwa aku sedang enggan ditanya-tanya. Maka wanita paruh baya yang penyabar itu hanya diam sambil memandangku penuh iba.

Aku masuk kamarku lalu menguncinya. Aku melemparkan tasku ke sofa di ujung tempat tidurku. Aku segera menyambar handuk dan baju mandiku lalu bergegas mandi agar lelahku berkurang dan aku bisa segera memeriksa luka di sekujur badanku.

Saat badanku terkena air dingin, rasa perih menjalar ke seluruh tubuhku. Aku mengerang tertahan karenanya. Beberapa luka gores di jari-jari tangan dan lenganku rupanya ikut andil dalam mengirimkan rasa perih itu ke sekujur badanku.

Sehabis mandi aku mengamati beberapa luka lebam di badanku di cermin besar kamar mandiku. Ternyata cukup banyak juga luka lebamku. Pundak, pinggang, punggung, lengan atas, rusuk, dan pahaku membiru.

Aku mengoleskan salep yang bisa meredakan lebam di bagian tubuhku yang menghitam karena memar. Dalam hati aku bersyukur karena berkat sering main basket bareng Belva, otot-otot tubuhku yang cukup terlatih dan berisi ternyata mampu menahan benturan keras dengan baik. Dalam hati aku berjanji akan selalu rajin berolahraga selama hidupku.

Setelah selesai mengoleskan salep, aku mengambil sikat gigi dan mengoleskan pasta gigi di sikatnya yang berwarna putih. Ujung bibirku yang robek ternyata cukup menyulitkan saat aku sikat gigi. Beberapa kali aku terpaksa harus berhenti untuk menahan perihnya luka di ujung bibirku yang terkena pasta gigi.

Setelah menyikat gigi, ternyata berkumur juga masalah baru buatku. Karena air dingin yang menyentuh ujung bibirku juga seperti mengalirkan aliran listrik yang mengejutkan syaraf-syarafku. Aku mengerang lirih sambil menahan rasa perih. Setelah itu aku mengoleskan salep luka dengan ekstra hati-hati sambil berdoa agar luka ini tidak terlalu kentara agar tidak menjadi perhatian ayah maupun guru-guru besok pagi.

Setelah mengeringkan rambut, aku mengenakan mantel mandiku lalu merebahkan diri dengan sangat perlahan di atas ranjangku karena tidak ingin badanku terasa sakit di sekujur tubuh. Sebenarnya ini bukan pertama kalinya aku terlibat perkelahian. Tapi dengan jumlah sebanyak tadi sore memang baru kali ini aku alami.

Saat memandang ke arah langit-langit kamarku yang tinggi dan berwarna putih dan berusaha menahan rasa nyeri di sekujur tubuhku, entah mengapa tiba-tiba bayangan Miss Karen saat kejadian tadi sore muncul di benakku. Aksi tendangan berputarnya benar-benar sukses membuatku terperangah. Tubuh mungil dan kurusnya ternyata menyimpan tenaga yang luar biasa. Yang membuat aku juga heran, padahal dia sehari-hari selalu memakai rok panjang, kemeja lengan panjang dan kerudung yang menjuntai sampai menutupi pinggangnya. Tapi ternyata itu semua tidak menghalanginya melakukan gerakan beladiri dengan leluasa. Miss Karen ternyata memang bukan guru biasa. Tendangan kuatnya sukses mematahkan dua buah tongkat baseball dari kayu yang kokoh. Aku menduga mungkin Miss Karen adalah atlet taekwondo professional. Atau jangan-jangan Miss Karen diam-diam guru beladiri yang punya tenaga dalam? Ah, tapi sepertinya kalau tenaga dalam tidak mungkin. Aku melihat dia melakukan tendangan itu bukan karena magic. Tapi memang karena kekuatan tendangan yang luar biasa dan teknik tendangan yang benar serta terarah dengan baik.

Ah... Entahlah...

Aku menghela napas untuk menjernihkan pikiranku. Kepalaku masih dipenuhi bayangan aksi Miss Karen. Aku memejamkan mata untuk membantu mengusir bayangan-bayangan itu dari kepalaku. Tetapi aku malah terngiang kata-kata Miss Karen.

"Iya. Aku guru mereka. Kenapa?!"

Aku tidak bisa melupakan sorot mata membara Miss Karen saat mengatakan kalimat itu. Aku merasa saat itu Miss Karen menjelma jadi seorang ratu yang sangat berkuasa dan... dan...

Cantik.

Wait!

Aku membelalak kaget dengan pikiranku sendiri. Aku mengerang dalam hati. Kemudian sambil merutuki diri sendiri aku berusaha mengingatkan diriku bahwa Miss Karen adalah guruku dan aku bukan playboy cap kadal seperti Faiz yang menyukai siapapun yang dia mau tanpa berpikir panjang.

Wait! Wait! Akhtar! Are you crazy?!!

Aku mengerang lagi dalam hati. Kesal pada diriku sendiri.

Menyukai?! Menyukai?! Kau sudah gila, Akhtar! Hentikan perasaan bar-barmu itu!

Aku menghela napas panjang berusaha mengenyahkan ingatanku tentang kejadian tadi sore. Tapi anehnya sekali lagi aku malah teringat saat tadi Miss Karen berlutut di depanku untuk memeriksa luka di wajahku. Posisinya yang cukup dekat membuatku jadi bisa melihat dan mengamati wajahnya dengan cukup detail. Saat itu aku menemukan bahwa ternyata Miss Karen sama sekali bukan wanita yang buruk rupa. Mata cerdasnya yang berkilat-kilat terlihat sangat indah. Dua alisnya yang tebal dan hampir bersambung memiliki bentuk yang indah seperti sengaja dibentuk membentuk sudut seratus tujuh puluh derajat. Bulu-bulu matanya tebal dan lentik. Kulitnya yang sawo matang nampak sangat pas berpadu dengan garis wajah tegas yang menghiasi wajah manisnya. Hidungnya memang tidak mancung. Tapi pas sekali dengan wajahnya yang khas wanita Jawa. Aku tidak tahu bagaimana rambutnya. Tapi sepertinya di balik kerudung panjangnya yang sederhana, Miss Karen mempunyai rambut tebal dan indah. Kulit wajahnya juga bersih dan halus-...

Stop, Akhtar! Stop! Kau sudah gila, ya! Astaghfirullaah...

Aku memaki diriku sendiri dalam hati harena mempunyai pikiran seperti itu. Aku menjadi kesal pada diriku sendiri kok bisa-bisanya memperhatikan detail wajah miss Karen seperti itu.

Tapi... entah sejak kapan aku merasa mulai tidak sanggup memandang wajah Miss Karen lagi secara langsung. Tiap Miss Karen melihat ke arahku, aku jadi seperti waspada. Mata cerdasnya seperti bisa membaca apa yang ada dalam pikiranku. Saat itu terjadi, aku biasanya tiba-tiba merasa sangat gugup dan perutku seperti diaduk-aduk. Sikap Miss Karen yang kadang seenaknya dan cuek membuatku merasa selalu kalah darinya. Ia seperti tidak bisa dibantah. Padahal aku selalu memberontak pada semua guru di sekolah. Tapi anehnya, aku seperti tidak berdaya menghadapi Miss Karen. Aku secara ajaib jadi menurut padanya tanpa aku sadari. Aku jadi melunak di hadapannya tanpa bisa aku cegah. Sehingga aku memilih untuk menghindari segala kontak dengan Miss Karen saja. Memang, resikonya adalah Miss Karen mungkin akan mengira aku membencinya. Tapi itu lebih baik daripada aku harus salah tingkah tanpa bisa aku kendalikan di hadapannya.

Aku menutup wajahku dengan bantal lalu mengernyit kesakitan karena luka di pelipisku tersenggol sarung bantal cukup keras.

Aku sekali lagi menghela napas panjang.

Semoga besok perasaan gila ini menghilang. Aku masih harus bertemu dengan Miss Karen selama aku masih bersekolah di sana. Apa jadinya jika aku terus-terusan sinting seperti ini.

Apa mungkin aku terlalu terkejut akan kemampuan Miss Karen dalam beladiri sehingga aku terpesona?

Ya. Mungkin karena itu.

Semoga bukan karena sebab yang lain.

Semoga.

Karen dan AkhtarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang