Aku ingin kegiatan belanja buku sore ini cepat selesai. Maka saat masih di parkiran mobil, aku membagi tugas pada tiap orang untuk menyebar di toko buku yang luas di mall besar ini agar kami bisa menemukan buku yang dicari dengan cepat. Mereka juga langsung kuberi uang untuk membayar belanjaan mereka jika mereka selesai lebih dulu. Belva, Faiz, Ezra, Akhtar, dan Farah dengan sigap langsung siap melaksanakan tugasnya.
Begitu masuk mall, beberapa kali aku melihat ada cewek-cewek pengunjung mall yang bisik-bisik antusias saat melihat anak-anak cowok yang menemaniku belanja buku sore ini. Malah ada yang melongo saat melihat Ezra lewat di depannya. Beberapa cewek malah ada yang jingrak-jingkrak kecil saat Akhtar berdiri di dekat mereka. Lain lagi dengan Faiz yang memang flamboyan, setiap cewek yang berpapasan dengannya selalu mendapatkan senyuman maut ala idol KPop terkenal. Dan tentu saja hal itu sukses membuat mereka semakin mendesis histeris. Belva yang jangkung dan atletis selain membuat para cewek terpesona, juga membuat para cowok memandangnya dengan sedikit iri melihat proporsi tubuh Belva yang tegap dan ideal dengan tinggi badannya yang menjulang.
Melihat kenyataan ini, aku jadi berkesimpulan mungkin persahabatan Akhtar, Ezra, Belva, dan Faiz memang perpaduan yang unik. Faiz dengan wajah tampan ala model facial foam dan ada garis keturunan arab, Ezra yang jangkung, cool, dan sangat tampan sampai hampir seperti perempuan, Belva yang tegap dan maskulin, serta Akhtar yang blasteran bule seperti artis muda yang laris di sinetron FTV.
Farah tidak berani jauh-jauh dariku. Meskipun tidak selalu bersama, Farah tidak pernah berjarak lebih dari 1 lorong rak dariku. Aku memaklumi kecanggungannya. Maka aku biarkan saja Farah tetap ada di jarak yang bisa aku deteksi dengan cepat.
"Karen?"
Suara seorang wanita memanggilku dari arah belakang membuyarkan lamunanku. Saat aku menoleh, nampak seorang gadis tinggi semampai bak model di depanku. Make-upnya sangat sempurna. Pakaiannya juga modis. Rambut panjangnya yang ikal dibiarkan tergerai.
Malika.
"Kamu Karen, kan?" ulang Malika sekali lagi sambil melihat ke arahku dengan setengah yakin.
Aku memaksakan senyumku untuk menjawab, "Ya. Benar."
"Oh my God! Nggak nyangka banget bisa ketemu di sini! Apa kabar?" ujar Malika dengan mata membelalak. Bulu mata palsunya sampai mencuat ke atas dengan maksimal. Sepertinya dia benar-benar terkejut melihatku.
"Alhamdulillaah aku baik." jawabku singkat. Dan demi kesopanan, aku balik bertanya. "Kamu gimana?"
"Aku? Tentu aja bahagia. Karena guess what? Sebentar lagi aku bakal menikah! Kamu masih ingat pacarku yang waktu reuni aku kenalin ke kamu? Tiga bulan lalu dia melamarku di resto hotel bintang lima. Kami akan menikah enam bulan lagi, Karen!" cerocos Malika sambil tertawa. Jari manisnya yang kini jadi tempat bertengger sebuah cincin berlian mungil berkali-kali diperlihatkan Malika dengan gaya menyelipkan rambut ikal panjangnya ke telinga.
"Alhamdulillaah. Selamat, ya!" tanggapku singkat. Aku berusaha tidak terintimidasi sedikit pun. Dan kali ini aku bersungguh-sungguh mendoakan kebahagiaannya.
"Terima kasih. By the way, kamu sendiri gimana? Udah punya calon?" tanya Malika lagi sambil menyipitkan matanya. Tanda ingin menyelidikiku.
Aku sudah seribu persen menduga dia bakalan bertanya tentang hal ini padaku. Karena itu adalah kalimat pertanyaan favorit Malika sejak reuni yang lalu. Rasanya hampir semua temen perempuanku yang datang sendirian ke reuni tahun lalu mendapat pertanyaan legendaris itu dari Malika. Karena ia ingin mempunyai kesempatan untuk menceritakan pada mereka semua bahwa ia sudah punya calon suami yang kaya raya.
Akhirnya aku menjawab, "Belum. Aku masih ingin serius kerja dulu."
"Oh my God! Karen, kamu bisa jadi perawan tua loh nanti. Kamu mau cari yang seperti apa, sih? Gini lho. Kamu nggak usah cari yang seperti calon suamiku. Yang biasa-biasa aja. Yang penting sayang sama kamu." desis Malika berlagak peduli padaku. Tapi sebenarnya Malika nampak sangat puas karena aku belum mempunyai calon suami yang levelnya high class seperti calon suaminya.
"Well... mungkin memang belum saatnya ketemu." tanggapku berusaha tidak terprovokasi dan tetap kalem.
"Nonsense. Itu hanya alasan kamu untuk menutupi kenyataan bahwa sebenarnya memang belum ada kan cowok yang ngejar-ngejar kamu?" ujar Malika terkikik geli. Nampak sekali dia memang sengaja memancing emosiku seperti yang sudah-sudah.
"No offense, Karen. I'm just kidding." lanjut Malika sambil masih tetap tertawa puas. Puas karena melihat aku jauh tertinggal darinya masalah jodoh.
Subhanallaah. Dalam hati aku sebenarnya tidak habis pikir bahwa kok bisa-bisanya Malika belum berubah. Dia masih seperti dulu saat masih SMA. Suka sekali mengintimidasi dan memprovokasiku agar tersulut emosi. Padahal ini sudah lama sekali sejak peristiwa dia dan gank-nya dihukum oleh guru BP karena tertangkap basah sedang mem-bullyku dan Raven yang menjadi saksinya. Mungkin dia memang masih mendendam padaku.
Aku bertekad tidak akan membuat Malika semakin bahagia dengan kemarahanku. Maka aku memutuskan untuk tersenyum padanya lalu menjawab. "Well... maybe you're right."
Mata Malika berbinar bahagia mendengar jawabanku. Dia merasa puas aku mengakui hipotesa ngawurnya. "Okay... sampai ketemu saat reuni, ya? Kamu datang, kan?"
Aku mengangguk dan memaksakan untuk masih bisa tersenyum. "InshaAllah."
"GREAT! Nggak perlu minder untuk datang karena belum ada calon. Kapan-kapan kamu akan aku kenalkan sama cowok yang keren. Oke?" cerocos Malika dengan penuh kebanggaan.
"Nggak usah. Terima kasih." jawabku datar.
"Tenaaang. Aku akan cari yang sepadan sama kamu, kok. Yang cuma pegawai biasa. Bukan CEO kayak calon suamiku. Oke?"
"Nggak us-..."
"Anyway, aku harus pamit. Aku harus membeli gaun untuk acara reuni minggu depan. Daaah, Karen!" pamit Malika memotong jawabanku dengan nada tidak peduli. Lalu menjinjing tas bermerknya dengan langkah gemulai bak peragawati di atas catwalk.
Aku memandang kepergian Malika dengan perasaan heran. Aku heran mengapa sedari dulu Malika merasa tersaingi denganku. Secara fisik jelas Malika jauh lebih menarik bagi kaum adam. Tinggi semampai bak model dengan pakaian mahal yang selalu modis. Penampilannya sempurna dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Make up tanpa cela, kuku yang selalu rapi tanda rajin manicure, kulit putih mulus tanpa bekas luka. She's a live Barbie.
Well... maybe because she's a doll, she has no brain. Pikirku berusaha meredakan kemarahanku yang hampir saja muncul.
Aku yang tampil sederhana dan cuek, jarang ke salon dan belum pernah sekali pun manicure seumur hidupku, dan tinggi badanku yang biasa saja, sepertinya sama sekali bukan tandingan Malika secara keelokan fisik. Apa yang Malika kuatirkan sebenarnya?
Mungkin, Malika memang masih tidak bisa terima karena Raven lebih memilih berteman dan pergi nonton denganku daripada dengan dia. Meski peristiwa itu sudah terjadi sekian tahun yang lalu. Padahal aku hanya berteman dengan Raven. Tidak ada yang spesial di antara kami. Apalagi Raven juga sudah kuliah di Jerman sejak lulus SMA dan saat ini sedang melanjutkan S2 di sana. Aku jarang bertemu dengannya. Hanya kontak via e-mail.
Aku menghela napas berat mengingat aku harus bertemu Malika lagi saat reuni minggu depan. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana nantinya suasana hatiku saat reuni. Mungkin lebih baik aku hanya datang sebentar lalu pulang. Aku benar-benar tidak ingin Karen yang dulu bangkit lalu menjambak rambut Malika dengan penuh amarah.
Yaa Allah... tetapkan hambaMu ini dalam kesabaran. Doaku dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Karen dan Akhtar
ContoAku tak menyangka, ternyata kamu orangnya. Aku mencari apa yang membuatmu istimewa. Tapi aku pun tidak perlu melakukannya. Karena kamu istimewa sebegitu alaminya. Dalam pergulatan batin aku temukan bahwa ketika logika tak lagi bekerja, Allah akan tu...