18. Akhtar (9 Tahun Lalu)

159 14 0
                                    

     Sepulang sekolah aku menuju ke kebun belakang sekolah yang juga jalan pintas menuju parkiran mobil. Aku mencari si Boy di tempat biasanya si Boy bermain. Tapi aku tidak melihat si Boy dimana-mana. Sejak Miss Karen menugasiku untuk memberinya nama lalu memberinya makan, aku jadi merasa akrab dengan si Boy. Mungkin sekarang aku sudah mulai menyayanginya.

      Suasana kebun belakang masih seperti biasanya. Sepi, penuh pohon rindang yang menimbulkan suara daun bergesek melenakan, dan sebenarnya agak seram karena kadang terlalu sunyi.

     Bangku kayu tempat biasanya aku duduk memangku si Boy saat bercanda dengannya masih tetap dalam posisinya. Agak miring, pucat, dan tua. Aku memutuskan duduk di atasnya sambil menunggu kemunculan si Boy. Kadang si Boy secara ajaib muncul entah dari mana tempat persembunyiannya.

     Pikiranku melayang pada kejadian saat makan siang tadi. Rasanya aku sama sekali tidak bisa menelan batagorku karena ada Miss Karen sedang makan bakso di sampingku. Batagorku terasa seperti bongkahan batu. Sangat sulit dikunyah dan ditelan. Aku terkejut dengan betapa kacaunya perasaanku tadi siang. Perasaan campur aduk antara gugup, kuatir menyenggol pundak Miss Karen saat aku mengangkat tanganku untuk menyantap batagor, dan... dan... sebenarnya... aku harus jujur bahwa di balik semua keenggananku berjumpa dengan Miss Karen, sebenarnya ada rasa bahagia terselip di dalamnya. Aku sangat kerepotan meredakan debaran jantungku yang kelewat rajin seperti saat aku main basket sampai ngos-ngosan lawan Belva. Bedanya, jika saat main basket keringat yang keluar adalah keringat sehat yang membuat badanku merasa segar setelah bermain basket. Sedangkan tadi saat makan di samping Miss Karen, keringat yang keluar adalah keringat dingin karena gugup luar biasa.

     Aku sempat beberapa kali melirik Miss Karen saat ia sedang asyik makan. Saking dekatnya posisiku dari Miss Karen, aku sampai bisa melihat ujung alisnya yang sedikit berantakan. Alis alami yang menambah kecantikan wajahnya. Aku juga sampai bisa melihat betapa halus kulit wajahnya yang tidak memakai make up berlebihan.

     "Meong..."

     Lamunanku buyar karena suara si Boy tiba-tiba terdengar cukup lantang. Aku menoleh ke belakangku. Si Boy muncul dari balik tumpukan kayu tua. Badannya sudah agak gemuk dan bersih. Si Boy mengenali jam-jam berkunjungku. Kadang kalau aku telat muncul dia sudah duduk menunggu di atas bangku kayu tua ini.

     Aku menepuk pahaku untuk memberi tanda pada si Boy agar dia lompat ke pangkuanku. Si Boy yang pintar memahami itu. Dengan sekali loncat, si Boy kini sudah duduk di pangkuanku. Setelah menguap lebar, si Boy mulai mengendus tanganku mencari makanan. Aku mengelus si Boy yang selalu manja padaku. Aku sendiri tidak menyangka aku bisa sesuka ini pada si Boy. Karena aku sama sekali belum pernah mempunyai hewan peliharaan.

     Aku merasa rileks di sini. Tidak ada cewek-cewek yang berisik, tidak ada lalu lalang orang. Hanya ada aku, si Boy dan suara gemerisik daun di atas kepalaku.

     "Ternyata kamu di sini."

     Suara riang itu langsung membuat jantungku berdegup kencang.

     Tidak. Jangan sekarang, Yaa Allah...

     Aku memberanikan diri menoleh ke arah suara dengan gugup meski aku tahu persis siapa yang sedang berjalan ke arahku.

     Miss Karen melangkah mendekat ke arahku. Saat Miss Karen mendekat, aku seperti melihatnya dalam gerakan lambat. Wajah manisnya yang tersenyum riang, lalu lambaian kerudung panjang dan roknya yang seirama dengan gerakan langkah Miss Karen, ditambah efek angin berhembus yang sepoi-sepoi, membuat Miss Karen seperti dewi yang baru turun dari khayangan di mataku.

     Miss Karen sampai di dekatku lalu dengan tanpa ragu, langsung duduk di sampingku. Posisi duduknya lumayan dekat sehingga aku bisa mencium aroma samar white musk dari tubuhnya. Aroma yang membuat ujung-ujung jariku mulai dingin dan jantungku seperti mau melompat keluar dari tempatnya karena gugup.

Karen dan AkhtarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang