Aku melihat ke arah Akhtar yang baru saja pergi keluar kelas tanpa memandangku sama sekali. Kini aku hampir merasa yakin bahwa dia benci padaku karena sepanjang pelajaran tadi, Akhtar nampak sama sekali tidak mendengarkan apa yang aku sampaikan. Kadang ia melihat ke arah jendela. Kadang menunduk seperti menulis sesuatu. Kadang juga sengaja memalingkan wajahnya dariku. Sungguh aku masih penasaran dengan apa yang membuat Akhtar tidak mau memandang wajahku saat aku berbicara padanya atau sebaliknya.
Aku menghela napas lalu mulai mengemasi meja untuk menuju ke arah kantin. Aku sungguh tidak suka hal ini terus berlangsung. Aku harus mengetahui apa masalahnya sehingga Akhtar nampak begitu benci padaku. Padahal ketiga sahabatnya nampak sangat ramah dan selalu menanggapiku dengan antusias.
Selesai mengemasi meja, aku berjalan ke arah kantin yang setiap jam istirahat makan siang selalu penuh anak-anak yang sedang makan dengan semangat. Bau aneka masakan khas Indonesia mulai tercium. Keramaian obrolan para pengunjung kantin terdengar seperti bunyi lebah sibuk bekerja.
Beberapa anak menyapaku. Ada juga yang menyapa sambil melambaikan tangan dengan semangat. Aku menanggapi mereka semua dengan senyum riang. Antusiasme murid-muridku selalu bisa membuatku merasa ikut bersemangat dan merasa senang.
Tiba-tiba aku menangkap sosok raksasa Belva di pojok kantin sedang asyik makan. Jika ada Belva, aku menduga di sekitarnya pasti ada Ezra, Faiz, dan tentu saja Akhtar.
Aku mempercepat langkahku mendekati bangku dimana Belva makan. Benar saja. Ternyata di sekitar Belva berkumpul Faiz, Ezra, dan Akhtar. Ada juga Farah yang nampak mungil di antara empat cowok yang perawakannya cukup besar itu. Farah, Faiz, Ezra dan Belva nampak sedang asyik makan. Tapi Akhtar tidak.
Aku memandang ke arah Akhtar yang saat itu nampak sedang menjelaskan sesuatu dengan serius pada Faiz. Hmmm... bisa jadi ini mungkin kesempatanku untuk membuktikan sekali lagi apakah benar Akhtar memang benci padaku. Maka aku memutuskan untuk ikut bergabung bersama mereka sekaligus menyantap makan siangku hari ini.
Sesampainya di dekat bangku yang diduduki Farah, Belva, Faiz, Ezra, dan Akhtar, dengan tidak berpikir lama aku langsung duduk di kursi sebelah Akhtar yang masih kosong sambil menyapa para sahabatnya dan Farah. Aku menduga empat cowok mencolok itu rupanya nyaman duduk bersama Farah yang pendiam karena biasanya cewek lain akan berisik dan bertingkah berlebihan jika mereka duduk bersama cewek-cewek itu. Bahkan cukup sering juga aku melihat ada beberapa cewek yang mengambil foto Ezra, Belva, Faiz, dan Akhtar secara diam-diam. Untuk Faiz yang flamboyan, mungkin segala macam bentuk perhatian berlebihan dari cewek-cewek itu adalah hiburan yang menyenangkan baginya. Tapi bagi ketiga sahabatnya yang lain mungkin hal itu membuat mereka merasa risih dan lebih nyaman untuk duduk dengan Farah yang selalu makan sendirian dalam diam.
"Hei, guys!" sapaku.
Mereka semua membalas sapaanku dengan ramah, kecuali Akhtar. Dia hanya diam tanpa melihat ke arahku. Aku semakin penasaran apa salahku padanya. Aku tidak ingin muridku membenciku. Karena aku sangat menyayangi mereka semua seperti adikku sendiri.
Setelah beberapa saat aku duduk, aku baru menyadari bahwa posisi dudukku ternyata sangat dekat dengan Akhtar. Pundakku dan pundaknya hampir saja bersentuhan jika aku tidak hati-hati bergerak. Bahkan aku sampai bisa melihat mata coklat terangnya dengan jelas dari tempatku duduk. Aku juga bisa samar-samar mencium bau wangi parfum yang Akhtar gunakan. Aku juga jadi bisa tahu bahwa sebenarnya Akhtar punya beberapa helai rambut yang berwarna coklat terang di antara rambut lurusnya yang berwarna coklat gelap.
Sejujurnya, aku merasa agak kecewa Akhtar sama sekali tidak menggubrisku. Tapi aku menahan diri untuk tidak langsung menyapanya atau mengajaknya bicara karena aku tidak ingin ia nampak tidak nyaman di depan para sahabatnya. Karenanya aku langsung melemparkan topik obrolan baru tentang pensi pada Ezra untuk mengusir rasa kecewaku.
Sejak aku duduk di samping Akhtar, aku merasa Ezra nampak mengawasi gerak-gerik Akhtar. Aku merasa curiga bahwa Ezra yang cerdas itu mulai merasa sikap Akhtar tidak seperti sebelumnya saat aku belum datang ikut bergabung bersama mereka. Namun Ezra rupanya tidak ingin membuat acara makan siang hari itu jadi canggung. Sehingga Ezra tidak mengatakan apa pun pada Akhtar.
Aku terkejut mendengar tanggapan Ezra yang menawarkan diri untuk menyanyikan lagu request dariku saat pensi. Karena semua orang berkata bahwa Ezra biasanya sangat pendiam dan bahkan dingin, wajar saja jika aku cukup terkejut dengan pertanyaannya itu. Karenanya setelah berpikir sejenak, aku menjawab dengan asal-asalan judul lagu yang aku request. Aku menduga toh Ezra tidak akan menganggapnya serius.
Lagi-lagi semua tertawa mendengar judul lagu requestku, kecuali Akhtar. Padahal Farah pun sampai spontan tersenyum lebar mendengar judul lagu yang aku request. Akhtar memalingkan wajahnya dariku. Dia hanya diam tidak berkata apa-apa dan juga tidak tersenyum. Ia seperti sama sekali tidak mendengar apa yang aku katakan.
Jujur saja hatiku jadi sedikit sedih melihat kenyataan bahwa Akhtar ternyata memang benar-benar benci padaku. Terlebih lagi karena aku belum tahu apa salahku padanya.
Syukurlah perhatianku jadi sedikit teralih karena perutku yang lapar. Pada akhirnya aku merasa harus mengisi perutku juga. Aku beranjak dari tempatku dudukku dengan tidak bersemangat. Sambil berjalan ke arah stan bakso Bu Ratih, aku tiba-tiba merasa tidak becus jadi guru. Karena aku telah membuat salah seorang murid jadi begitu membenciku.
Siang ini ternyata antrian di stan bakso Bu Ratih cukup panjang. Bu Ratih nampak sibuk melayani pembeli dibantu oleh suaminya. Aku memutuskan untuk mengajak ngobrol Bu Ratih yang cekatan menyiapkan berporsi-porsi pesanan untuk mengusir kebosanan. Apalagi Bu Ratih adalah orang yang selalu senang sekali diajak mengobrol. Anehnya, semakin diajak mengobrol, rasa-rasanya Bu Ratih jadi semakin cekatan melayani pesanan. Antrian jadi semakin memendek dengan lebih cepat.
Di tengah keseruan mengobrol, aku merasa ada seseorang yang memperhatikanku dari jauh. Karena sudah bertahun-tahun berlatih taekwondo, rasanya radar kewaspadaanku semakin terasah. Aku menoleh ke arah kiriku.
Sangat mengejutkan!
Aku terpana melihat Akhtar jauh di sana di depan stan batagor sedang melihat ke arahku. Mendadak aku merasa senang sekali. Ternyata dia masih mau melihatku. Mungkin dia tidak membenciku seperti yang aku pikir akhir-akhir ini. Saking senangnya, aku spontan tersenyum lebar sambil melambai ke arahnya.
Akhtar sepertinya terkejut akan sikapku. Ia kemudian segera memalingkan wajahnya dariku. Melihat tanggapan Akhtar, aku menghela napas dalam-dalam. Kini aku semakin yakin, ada hal yang harus aku bicarakan serius dengannya.
Jika ada kesempatan, aku akan bicara dengan Akhtar agar semuanya jelas. Jika memang ada kesalahpahaman diantara kami, mungkin akan bisa terselesaikan jika kami membicarakannya.
Aku mengingat bahwa sepertinya Akhtar tidak suka membicarakan urusan pribadinya di depan para sahabatnya. Maka aku merencanakan untuk bicara dengan Akhtar berdua saja.
Secepatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Karen dan Akhtar
Short StoryAku tak menyangka, ternyata kamu orangnya. Aku mencari apa yang membuatmu istimewa. Tapi aku pun tidak perlu melakukannya. Karena kamu istimewa sebegitu alaminya. Dalam pergulatan batin aku temukan bahwa ketika logika tak lagi bekerja, Allah akan tu...