59. Karen ( Saat Ini )

258 13 0
                                    

     Aku menjemur kain pel di belakang rumah tempat kelahiranku. Aku baru saja selesai mengepel seisi rumah. Aku bisa mencium aroma pembersih lantai dari seisi rumah. Rumah mungil ini adalah rumah dimana aku dilahirkan hampir tiga puluh dua tahun lalu. Aku mencintai segalanya tentang rumah ini. Warna cat temboknya yang putih bersih, pagar kayunya yang di cat putih, aneka tanaman yang bertebaran di seantero halaman depan hasil pemanfaatan hobi Ayah sejak kecil yang sangat mencintai tanaman, kursi tamu bermodel desain klasik tahun 80-an, dapur lebar di belakang rumah tempat Ibu sering menyibukkan dirinya, kamar tidur mungil tempatku beristirahat sekaligus belajar, dan tentu saja ayunan besi kuno tempatku biasa membaca buku sampai ketiduran.

     Sejak kemarin sore aku sudah datang ke kampung halamanku untuk bertemu ayah dan ibuku. Aku merasa butuh tempat untuk istirahat sementara dari semua masalah yang sedang aku hadapi. Karenanya aku ijin sehari dari kantor sebelum weekend untuk mudik. Aku ingin berdiskusi dengan kedua orang tuaku mengenai Akhtar.

     Semenjak kedatangan Akhtar ke kantorku, hidupku seperti berada dalam dunia es. Aku merasa sangat gugup setiap mengingat kalimat Akhtar yang tegas dan tanpa ragu sehingga membuat jari-jari tangan dan kakiku terasa dingin.

     'Aku nggak ingin membuang waktu lagi. Aku ingin menikah dengan Miss Karen.'

     'Miss, menikahlah denganku.'

     'I love you so much.'

     Aku bergidik kedinginan setiap mengingat kalimat-kalimat itu. Karenanya aku menceritakannya pada ibu kemarin malam sebelum tidur.

     Ibu mendengarkan aku dengan seksama tanpa sekali pun menyela ceritaku hingga aku selesai. Ibu diam sejenak untuk berpikir. Kemudian Ibu mengatakan hal yang membuatku seperti melihat titik terang jalan keluar dari masalah yang aku hadapi.

     "Ibu sebenarnya lebih berharap kamu dapat suami yang usianya sepantaran atau lebih tua, Nduk," ujar Ibu setelah mendengar ceritaku tentang Akhtar. "Tapi dari ceritamu, ibu merasa Akhtar ini sangat bersungguh-sungguh padamu. Ibu suka kegigihannya. Laki-laki memang harusnya seperti itu. Itu menunjukkan bahwa ia benar-benar serius padamu."

     Aku menarik napas dalam-dalam karena merasa dadaku sesak.

     "Dulu, Ibu juga akhirnya mau menerima lamaran Ayahmu karena kegigihannya memperjuangkan Ibu. Kamu tahu sendiri, kan? Mbah Putrimu itu bangsawan Jawa. Tentu saja awalnya tidak menyetujui keputusan Ayahmu memilih Ibumu ini yang bukan dari kalangan bangsawan," cerita Ibu dengan mata menerawang mengingat masa lalu. Ibu tersenyum sendiri saat mengingatnya. "Ayahmu itu bonek. Dia memilih minggat dari rumahnya daripada harus berpisah dengan Ibu. Akhirnya Mbah Putrimu luluh dan merelakan putra kesayangannya menikahi Ibu."

     Aku tersenyum mendengar cerita Ibu. Sebenarnya aku sudah beberapa kali mendengar cerita ini dari Ibu. Tapi aku tidak pernah bosan mendengarnya lagi dan lagi.

     Aku tidak heran Ayahku menjatuhkan pilihannya pada Ibu. Karena Ibu adalah wanita cerdas dan mandiri meski berasal dari desa dan bukan dari kalangan bangsawan seperti Ayah. Ibuku juga memiliki pemikiran yang maju. Karenanya beliau sangat bersemangat mendukungku untuk bisa kuliah di Jerman.

     Kalimat Ibu yang selalu kuingat adalah : "Jadi wanita itu harus kuat. Kuat mental dan kuat fisik. Dengan begitu, kamu akan bisa mendidik anak-anakmu menjadi generasi yang tangguh."

     Karena itu, sejak kecil aku sudah menekuni taekwondo. Ayah dan Ibu juga mendidikku untuk mandiri. Beliau berdua tidak ingin aku menjadi gadis manja meski aku adalah putri tunggal mereka.

     "Ayahmu itu dari dulu ndak suka sama hal-hal yang berhubungan dengan kebangsawanan. Makanya di depan namamu yang seharusnya ada gelar Raden Roro, ndak dituliskan di Akte Kelahiranmu. Ayahmu merasa gelar kebangsawanan itu ndak ada artinya. Ndak bisa membuat kamu otomatis masuk Surga." lanjut ibu sambil tertawa geli.

Karen dan AkhtarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang