Berandalan kecil yang berani hendak menghantam tubuhku dengan tongkat baseball kayu itu kini melotot tidak percaya di depanku. Ia menatapku ngeri seperti habis melihat hantu.
Tepat pada waktunya, aku telah menendang tongkat baseball kayu di tangannya hingga terlempar dan patah menjadi dua. Dalam momen seperti ini, gerakan taekwondo andalanku memang sangat berguna. Berkat latihan taekwondo rutin sejak SD, syaraf-syarafku jadi terlatih waspada terhadap bahaya. Dan seiring dengan bertambahnya usiaku, ternyata kekuatanku juga ikut bertambah.
Aku maju dengan cepat ke arah si Jambul dan menyambar krah baju seragamnya. Aku tarik krah bajunya dengan kuat sehingga ia maju terdorong ke arahku.
"Sekali lagi kamu atau teman-temanmu berani mengganggu murid-muridku, maka lain kali tulang kakimu yang akan patah jadi dua seperti tongkat itu." tukasku serius dan memandang lurus ke matanya dengan pandangan paling mematikan yang aku bisa. Aku lepaskan cengkramanku di krahnya sambil mendorongnya sedikit ke belakang dengan garang.
Anak berjambul itu memandangku dengan ngeri. Begitu juga dengan teman-temannya.
"Gu... guru?!" gumamnya melotot kaget di tempatnya berdiri.
"Ya! Aku guru mereka! Kenapa?!!" jawabku garang.
Aku menatap satu persatu anak-anak SMA Bina Siswa dengan dingin. "Kalo kalian memang gentleman, harusnya kalian berkelahi satu lawan satu. Bukan main keroyokan!! Pengecut!!!"
Mereka masih melihatku dengan tatapan ngeri. Wajah mereka memucat.
"Aku tidak mau lagi melihat atau mendengar kalian menghabiskan masa muda kalian dengan melakukan hal-hal konyol seperti ini. Kalau kalian coba-coba lagi bikin masalah, aku akan datang menemui kepala sekolahmu!!!" seruku tegas dengan nada suara yang kubuat sehingga mereka memahami bahwa aku bersungguh-sungguh dengan perkataanku.
Tak disangka, beberapa saat kemudian, si Jambul balik badan dan lari terbirit-birit. Melihat si Jambul kabur, teman-temannya juga ikut lari berhamburan menuju motor mereka masing-masing lalu segera kabur pergi seperti kucing yang kalah bertarung sampai terkencing-kencing.
Sambil mengawasi kaburnya para murid SMA Bina Siswa, aku segera menoleh ke arah Belva. Belva memandangku dengan ekspresi lega. Syukurlah Belva sepertinya hanya kelelahan dan sedikit lebam di pipi dan pelipisnya. Aku memeriksa luka di wajahnya. Sepertinya bengkak dan lebam ini akan bisa hilang dalam beberapa hari. Sambil tersenyum, Belva berkata sungguh-sungguh, "Terima kasih, Miss. Miss keren sekali."
Aku membalas senyumnya dengan sengaja memberikan sedikit tepukan di pipinya yang lebam. Belva berjengit.
"Jangan diulangi lagi." perintahku pura-pura kesal. Belva tertawa tapi lalu meringis kesakitan sambil memegang pipinya.
"Aku berlari menuju Faiz. Faiz sedang duduk sambil menyelonjorkan kakinya. Wajahnya nampak sangat kelelahan. Tapi ia tetap menyambutku dengan senyuman riang ala anak TK khas miliknya. Aku berjongkok untuk memeriksa luka di wajahnya. Herannya dia malah meringis bahagia. Dasar anak sinting. Untunglah dia juga hanya kelelahan. Ada lebam di pipi dan robek sedikit di ujung bibir kirinya.
"Berikutnya aku berjalan menuju Ezra. Ezra juga duduk selonjoran dan nampak sangat kelelahan. Napasnya agak ngos-ngosan. Wajah tampannya yang membius banyak murid cewek di sekolah, kini agak lebam dan pelipis kanannya sedikit memar. Ezra tersenyum padaku. Dari senyumannya itu, aku menebak bahwa sepertinya dia sudah menduga aku akan datang membantu mereka.
Aku bergegas menuju Akhtar. Akhtar sedang duduk sambil menyelonjorkan kakinya. Nampak sekali bahwa ia lelah dan menahan sakit di wajah dan badannya. Aku berjongkok untuk memeriksa luka di wajahnya. Akhtar lalu memandangku dengan mata coklat terangnya yang kini memancarkan sorot waspada. Aku mengulurkan tangan hendak melihat luka di pelipisnya. Tapi dia berpaling dan menghalangi tanganku menyentuh wajahnya yang terluka. Mungkin dia tidak ingin aku membantunya lebih jauh. Padahal aku melihat luka robek di bibir kanannya. Dan pelipisnya nampak ada luka gores yang lumayan kentara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Karen dan Akhtar
Short StoryAku tak menyangka, ternyata kamu orangnya. Aku mencari apa yang membuatmu istimewa. Tapi aku pun tidak perlu melakukannya. Karena kamu istimewa sebegitu alaminya. Dalam pergulatan batin aku temukan bahwa ketika logika tak lagi bekerja, Allah akan tu...