Aku mendengarkan omelan guru BK dengan ogah-ogahan. Kalimat beliau hanya itu-itu saja. Terus saja diulang tiap kali aku masuk ke ruangan ini untuk mendapatkan hukuman atau hanya peringatan.
"Mau jadi apa kamu di masa depan kalau seperti ini terus, Karen? Setiap minggu setidaknya kamu selalu masuk ruangan ini untuk mendapatkan hukuman. Apa kamu memang sengaja supaya bisa tidak ikut pelajaran?" omel Bu Lisa sampai kacamata minusnya melorot di hidungnya yang pesek.
"Saya juga heran, Buk. Sebenarnya saya ini salah apa sampai disuruh ke ruangan ini lagi." tanggapku menantang.
Bu Lisa mendelik ke arahku setelah mendengar kalimatku yang tidak sopan itu.
"Kamu selalu merasa tidak bersalah. Sana! Bersihkan kandang ayam sampai jam pulang sekolah!" perintah Bu Lisa kesal melihat sikap kurang ajarku.
Aku beranjak dari kursi dan langsung melenggang tanpa salam atau permisi. Aku juga merasa kesal sekali. Mengapa guru-guru di sekolah ini selalu tidak memberi kesempatan siswanya untuk menjelaskan perkara sebenarnya. Selalu saja menjatuhkan vonis seketika berdasar apa yang terlihat atau berdasar laporan beberapa pihak saja tanpa menghadirkan saksi mata. Mereka selalu membela anak-anak para pejabat atau kerabat pemilik sekolah. Anak dari keluarga biasa sepertiku hanya dipandang sebagai pelengkap kuota jumlah murid di sekolah. Semua kenyataan itu membuatku muak dan memutuskan untuk membela hak-hakku apapun caranya. Termasuk berkelahi dengan siapapun yang mencoba membully-ku.
Aku tidak takut melawan walaupun lawanku adalah anak laki-laki ketua geng berandal sekolah. Sebagai pemegang sabuk hitam taekwondo, aku sangat percaya diri menghajar anak-anak sok kuat itu.
Aku menuju gudang sekolah untuk mengambil sapu lidi, cetok, dan cikrak. Saat mempersiapkan itu semua, Pak Soleh, tukang kebun sekolah yang soleh seperti namanya menyapaku.
"Dihukum lagi, Nak Karen?" sapanya sambil tersenyum ramah padaku. Wajahnya yang keriput nampak lelah. Meskipun begitu, mata beliau sangat teduh. Selalu melihatku dengan rasa sayang. Mungkin beliau menganggapku sudah seperti cucunya sendiri. Beliau adalah 1 dari 2 orang yang membuatku memilih bertahan sampai lulus di sekolah ini. Seorang lainnya adalah Bu Ratmi, ibu penjaga kantin yang ramah.
"Iya, Pak. Tugas rutin. Lumayan, itung-itung bisa bantuin Pak Soleh." jawabku sambil nyengir.
Pak Soleh tertawa.
"Kalau sudah selesai, minum teh anget sama Bapak ya? Nanti Bapak bilang Bu Ratmi untuk ikut ngobrol bareng di kantin." ajak beliau ramah.
"Siap, Pak!" sahutku senang sambil mengambil sikap hormat ala komandan upacara tujuhbelasan.
Aku tidak pernah menduga, bahwa sore itu akan menjadi titik balik hidupku. Pak Soleh dan Bu Ratmi adalah 2 orang yang sangat berjasa membentuk seorang Karen di masa depan. Berubah dari seorang remaja uring-uringan menjadi remaja yang berambisi mengejar cita-citanya.
Pak Soleh dan Bu Ratmi menungguku di kantin. Mereka berdua tampak mengobrol santai sambil sesekali meneguk teh hangat yang terhidang di meja. Pak Soleh mengaku padaku sudah berusia hampir 60 tahun, sedangkan Bu Ratmi mengaku masih 17 tahun sambil tertawa terkekeh-kekeh padaku awal tahun lalu. Tapi aku memprediksi usia Bu Ratmi masih awal lima puluhan.
Pak Soleh berbadan mungil dan kurus. Kepala beliau yang sudah dipenuhi rambut putih selalu mengenakan sebuah peci rotan berwarna coklat. Aku merasa Pak Soleh sengaja selalu memakai peci itu di sekolah untuk menyenangkan hatiku. Ya, peci itu hadiah Lebaran dariku 2 tahun lalu. Pak Soleh sebelumnya selalu memakai peci kain yang sudah tua dan bulukan. Karenanya aku sengaja menyisihkan uang tabunganku untuk membelikan beliau peci baru. Aku masih ingat mata teduh Pak Soleh yang berkaca-kaca saat mendapat hadiah peci itu dariku. Beliau mengatakan sesuatu yang membuatku merasa punya harapan. Kelak aku akan selalu mengingat bahwa kalimat-kalimat positif yang kita tujukan untuk orang lain ternyata memiliki energi positif yang dahsyat terhadap orang tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Karen dan Akhtar
Krótkie OpowiadaniaAku tak menyangka, ternyata kamu orangnya. Aku mencari apa yang membuatmu istimewa. Tapi aku pun tidak perlu melakukannya. Karena kamu istimewa sebegitu alaminya. Dalam pergulatan batin aku temukan bahwa ketika logika tak lagi bekerja, Allah akan tu...