29. Karen (9 Tahun Lalu)

188 12 0
                                    

     Aku berjalan menuju meja prasmanan dikawal Belva dan Akhtar di belakangku. Mereka memposisikan diri mereka seperti bodyguard yang menjaga tamu VVIP. Tentu saja hal mencolok ini membuat teman-teman SMA-ku penasaran siapa sebenarnya dua pemuda yang berjalan bersamaku sekarang.

    Sesampainya di meja prasmanan, aku terkesan pada kesigapan Akhtar mengambilkan piring kecil untukku. Aku menerimanya sambil tersenyum padanya. "Terima kasih, ya?" ujarku.

     Akhtar tersenyum senang. Oke. Senyum itu lagi. Senyum yang sekali lagi berhasil membuat perutku terasa seperti diaduk. Aku mengalihkan perhatianku dari Akhtar ke meja prasmanan yang penuh pilihan kue-kue mungil yang cantik dan kelihatan sangat enak.

     "Sepertinya opera cake ini enak..." gumamku.

     Sekali lagi aku takjub melihat kesigapan Akhtar membantuku mengambil opera cake yang aku inginkan.

     "Wow... okay. Thanks," tanggapku terkesan. Aku menoleh ke Belva. "Kamu mau kue apa, Bel?"

     Belva berpikir sejenak, lalu ia menunjuk kue blackforest yang memang terlihat menggugah selera.

     Aku hendak mengambil jepitan yang sengaja disediakan untuk mengambil kue ketika Akhtar dengan cekatan mengambilnya lebih cepat dariku dan mulai menjepit dua potong blackforest mungil.

     "Kamu sendiri mau yang mana, Akhtar?" tanyaku pada Akhtar tanpa melihat ke arahnya.
 
     Di luar dugaan, Akhtar tidak segera menjawab. Maka aku menoleh ke arahnya. Ternyata dia sedang melihatku sambil tersenyum. Entah apa yang dia pikirkan. Tapi aku melihat binar mata bandel di mata cokelat terangnya.

     "Hei, kamu mau yang mana?" tanyaku sekali lagi sekalian berusaha membuat diriku tidak terpengaruh pada senyum Akhtar barusan. Sungguh senyum yang berbahaya karena bisa membuat pipi memanas karena tersipu.

     Tak lama kemudian ada suara lumayan heboh di dekat panggung. Aku menoleh untuk sedikit mencari tahu sebenarnya ada kejadian apa di sana.

     "Lebih baik kita ikut ke depan panggung, Miss." ujar Belva.

     Belva membukakan jalan supaya aku bisa berjalan ke dekat panggung. Maka aku menurutinya untuk melangkah kebih dekat ke panggung.

     Di atas panggung sudah ada seorang pemuda dengan rambut lurus semi gondrong yang bagian atasnya dikuncir ke belakang. Beberapa helai poni dibiarkan jatuh di wajahnya yang saking tampannya sampai mirip seperti perempuan. Pemuda yang memakai setelan jas elegan berwarna putih itu duduk di kursi piano. Sepertinya dia akan memainkan grand piano di depannya.

     Dentingan piano mulai mengalun. Terdengar beberapa teriakan histeris teman-teman perempuanku. Lalu pemuda itu mulai menyanyi.

     Girl, tell me only this
     That I'll have your heart for always
     And you want me by your side
     Whispering the words "I'll always love you"

     And forever
     I will be your lover
     And I know if you really care
     I will always be there

     Suara antusias plus histeris mulai membahana di ruangan resto. Suara pemuda itu begitu membius. Lagu Truly milik Lionel Richie menjadi begitu indah dia nyanyikan.

     Tunggu...

     Sepertinya aku familiar dengan suara ini.

     Aku lebih mendekat ke arah panggung untuk melihat pemuda yang memainkan piano lebih jelas.

     MasyaAllah!

     Aku hampir tidak mempercayai mataku sendiri. Pemuda super tampan yang memainkan piano itu tidak lain tidak bukan adalah Ezra. Aku hampir tidak mengenalinya karena dia mengenakan setelan jas putih yang rapi serta sorotan lampu yang terang ke arahnya.

Karen dan AkhtarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang