EPILOG : Karen (2)

246 28 1
                                        

     Karena kami berdua anak tunggal, maka salah satu cita-cita Akhtar adalah memiliki sebuah keluarga besar. Akhtar pernah bilang, jika Allah mengijinkan, ia ingin punya empat orang anak. Aku hanya bisa mengamini keinginannya. Meski sebenarnya aku merasa agak cemas karena usiaku sudah di atas tiga puluh tahun.

     Ditambah lagi, hingga dua tahun usia pernikahan kami, aku belum kunjung hamil. Usiaku sudah tiga puluh empat tahun sekarang. Ditambah pertanyaan umum yang sering sekali aku dan Akhtar terima dari orang lain menjadikan aku semakin cemas dan kuatir.

     "Kapan nih punya baby?"

     Akhtar jika ditanya tentang hal itu biasanya bisa tetap tenang dan sabar. Lalu ia tersenyum sambil menjawab, "Hanya Allah yang Maha Tahu. Mungkin kami disuruh pacaran dulu. Kan kami dulu langsung menikah tanpa pacaran. Mohon doanya supaya disegerakan."

     Tapi aku bukan Akhtar. Perangaiku yang keras membuat pertanyaan semacam itu bisa sangat menyakitkan bagiku. Rasanya aku ingin menjawab pertanyaan semacam itu dengan garang. Orang-orang selalu bertanya seolah kami berdua mengetahui semua rahasia langit. Memang benar salah satu tujuan pernikahan adalah mempunyai keturunan. Tapi kapan waktunya adalah semata-mata hanya Allah yang mengetahuinya. Bahkan banyak juga yang diuji oleh Allah dengan sama sekali tidak dikaruniai anak selama hidup mereka. Aku ingin mengatakan itu semua di depan mereka saat menanyakan pertanyaan jahat itu. Tapi kesabaran Akhtar adalah rem pakem untuk perangai kerasku yang kadang frontal menghadapi sesuatu. Karena aku sangat menghargai Akhtar sebagai suami, aku berjuang ekstra keras untuk mengerem amarahku dan belajar ikut bersabar menghadapi orang-orang yang bagiku telah melampaui batas tersebut.

     Sungguh. Aku tidak habis pikir dengan pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Karena dulu saat aku belum juga menikah padahal sudah berusia di atas tiga puluh tahun, aku juga sering sekali mendapat pertanyaan semacam itu.

     "Kapan menikah?"

     Pertanyaan yang kesannya sama seperti bertanya kapan aku mati. Karena jodoh, rejeki, dan maut hanya Allah yang mengetahuinya.

     "Jangan terlalu pemilih."

     Kalimat penghakiman yang sangat tidak berperasaan. Apa mereka tahu apa saja yang sudah aku alami?

     "Kalau nggak cepat menikah, nanti kamu kehabisan stok."

     Oh, wow! Jadi maksudnya semua pria sudah menikah, gitu?

     "Kamu kok senang sih terus menjomblo?"

     That word, 'Jomblo', is a very rude word for me. Entah siapa yang menyebutkan kata itu untuk pertama kali, tapi yang jelas aku sangat membenci kata itu. Bahkan sampai kini setelah aku sudah menikah pun aku tetap membenci kata itu.

     Pertanyaan beruntun yang dilontarkan oleh para manusia tanpa empati ini seolah tiada habisnya. Saat belum menikah, ditanya kapan menikah. Saat sudah menikah, ditanya kapan punya anak. Saat sudah punya anak, ditanya kapan punya anak lagi. Saat anak sudah besar, ditanya kapan punya menantu. Saat anak sudah menikah, ditanya kapan punya cucu. Saat sudah punya cucu, ditanya berapa cucu yang dipunyai. Saat sudah punya banyak cucu, ditanya apakah kita masih sehat saja di usia yang sudah tidak lagi muda.

     Benar-benar merepotkan.

     Mengapa orang kebanyakan selalu mau tahu urusan orang lain?

     Apa urusan mereka sendiri sudah selesai diurus?

     Mind your own business, people!

     Ada yang bilang hal itu karena bentuk perhatian dan kepedulian mereka. Tapi menurutku itu adalah bentuk keingintahuan mereka saja. Jika memang mereka peduli dan perhatian, malah seharusnya mereka tidak menanyakan pertanyaan yang berpotensi menyinggung perasaan orang lain seperti itu.

Karen dan AkhtarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang