2. AKHTAR ( 1 Hari Sebelumnya)

439 17 0
                                    

       Aku sedang duduk di kursi kerjaku yang nyaman sambil meneliti usulan desain untuk klienku ketika tiba-tiba handphoneku berbunyi.
Ini aneh. Tidak biasanya handphoneku berbunyi saat jam istirahat makan siang begini.

       Aku membaca nama yang terpampang di layarnya.

       Faiz si Boy.

       Aku kembali merasa keheranan. Berusaha menebak ada masalah apa sampai sahabat sejak SMPku itu menelponku di jam seperti ini. Seingatku aku sudah memberikan desain kamar anak pesanannya beberapa minggu lalu.

       "Assalamu'alaykum?" ujarku setelah menekan tombol hijau di handphoneku.

       "Wa'alaykumussalam, Tar. Hei, Bro! Aku barusan dapat cerita menarik dari Abah." jawab Faiz dengan suara yang penuh semangat.

       "Tentang?" tanyaku penasaran.

       "Miss Karen, Bro. Miss Karen!" sahut Faiz antusias.

       Mendengar nama itu dadaku seperti dihantam sesuatu.

       "Maksudmu?" tanyaku lagi langsung gusar. Aku tidak ingin mendengar berita buruk tentang Miss Karen yang sudah 8 tahun ini coba aku temui tapi belum berhasil juga. Sejak memutuskan resign dari SMAku, Miss Karen seperti hilang dari peredaran. Dugaanku Miss Karen sengaja menghindariku. Telpon dariku tidak pernah diterima, SMS dan pesanku di media sosialnya tidak pernah dibalas, komentarku di semua postingannya yang jarang itu tidak pernah ditanggapi. Semua akun media sosialnya seolah hiatus. Tidak ada lagi postingan gambar pemandangan alam di Instagramnya. Facebook yang biasanya rajin dikunjungi pun hanya sesekali aktif.

       "Don't tell me she's going to marry someone." sahutku lagi.

       Faiz tertawa.

       "Tenang, bukan itu, Bro. Aku baru diberitahu Abah bahwa Miss Karen sekarang bekerja di salah satu sekolah binaan yayasan Abah." lanjut Faiz masih antusias. Calon Bapak yang satu ini memang selalu bikin aku terkejut dengan berita-berita yang dia bawa.

       "Serius?" tanyaku terkejut.

       "Dua rius, Bro. Sekarang Miss Karen jadi guru bimbingan karir dan konsultan orangtua di SMA Putra Bangsa. Udah, buruan siapin catetanmu. Ini nomer telpon sekolahnya." cerita Faiz senang.

       Aku buru-buru mengambil post-it dan mulai mencatat deretan angka yang disebutkan oleh Faiz.

       "Dengerin ya, Bro. Usulku adalah kali ini kamu telepon ke situ untuk bikin janji konsultasi tentang saudaramu yang dulunya tinggal di luar negri dan rencana mau pindah ke sekolah itu. Dan ini yang paling penting," cerocos Faiz. "Jangan pakai nama aslimu."

      Aku terdiam karena ada rasa tidak setuju merayap di benakku.

       "Karena Miss Karen tidak akan mau menemui kamu kalau nama aslimu disebut." lanjut Faiz seperti paham apa arti diamku.

       "Yeah, right.", sahutku setuju. "Jazakallah, Iz."

       "Yep! Semoga kali ini berhasil ketemu. Wassalamu'alaykum." dukung Faiz lalu memutus pembicaraan.

       Aku memejamkan mata sambil menghela napas panjang dan menghembuskannya perlahan untuk menenangkan diri dan menormalkan debaran jantungku yang seperti ingin melompat keluar dari tempatnya bertengger.

       Tiba-tiba aku teringat hari itu, 9 tahun lalu. Hari dimana Miss Karen dengan penuh percaya diri mendatangi Ayahku untuk membahas lembaran bimbingan karirku yang kosong karena sengaja tidak kuisi dan berkata, "Menurut saya, Bapak seharusnya lebih mempercayai putra Bapak."

       Kalimat Miss Karen yang tidak basa-basi rupanya memberikan efek dahsyat pada Ayahku. Karena selepas Miss Karen pulang dari rumahku, Ayah langsung menemuiku dengan raut wajah penuh penyesalan.

       "Maafkan Ayah. Kamu isi saja lembaran ini sesuai keinginanmu. Kamu yang akan bertanggung jawab penuh dengan apa yang kamu tulis di situ." ujar Ayah.

        Mendengar itu rasanya aku ingin memeluk Ayahku. Aku sangat gembira dan bersyukur akhirnya Ayah membolehkanku untuk memilih cita-cita sesuai impianku. Biasanya topik ini selalu berhasil membuat kami bertengkar. Ayahku bersikeras menyuruhku menekuni bidang ekonomi untuk meneruskan bisnisnya. Sedangkan itu adalah hal yang sangat tidak menarik bagiku.

       Sejak hari itu hubunganku dengan Ayah membaik sampai detik ini. Aku tersenyum mengingat hal itu dan akhirnya memutuskan untuk menelepon SMA Putra Bangsa.

       Aku menekan angka-angka di handphoneku sesuai dengan angka yang kucatat di post-it biruku. Tiap angka aku tekan dengan mengucap 'Bismillah'. Tiap nada panggil yang kudengar membuat jantungku berdentum keras.

       "Selamat siang, SMA Putra Bangsa, dengan saya Riri." sahut suara di seberang setelah nada panggil ke-3.

       "Selamat siang, mbak Riri. Nama saya Andre. Saya ingin konsultasi mengenai saudara saya yang rencananya mau pindah dari sekolah di luar negri ke SMA Putra Bangsa."

Karen dan AkhtarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang