54

118 24 22
                                    

Author's note:

Pembunuhan terjadi di Jepang!!!! Wajib baca chapter ini bagi yang penasaran ... Jangan lupa tinggalkan Comment dan Votenya ya ... plus, Happy Saturday Night! Love Ya :* -Hx

***

"Kenapa tiba-tiba memanggilku James?" tanya Ray bingung sambil menggaruk-garuk kepalanya.

James lalu mendesah. "Aku butuh bantuanmu untuk menangkap pembunuh sialan itu."

Sontak, Ray terkejut. Ia tiba-tiba menegang, dan rahangnya mengeras. Ingin sekali ia memberitahu semuanya pada James, namun mulutnya terkunci begitu rapat. Ia sudah berjanji pada Arya.

"Kau ingin aku melakukan apa?" tanya Ray penasaran.

"Apa kau mau membantuku melacak pisau ini?" James lalu menyodorkan sebuah barang bukti yaitu berupa pisau yang pernah Arya tunjukkan. Tentu saja Ray sudah terlebih dahulu mencarinya. Namun, ia tak ingin mencarinya lagi.

Sejak saat itu, ia selalu berpikiran kalau Ian sendirilah pembunuh psikopat itu. Sehingga membuat hubungannya dengan Arya menjadi canggung karena ia mengutarakan pikirannya pada Arya. Walaupun sampai saat ini Ray masih mencaritahu tentang Ian yang sebenarnya.

Ray pun berpikir keras. Dia tak boleh sembarang mengambil keputusan. Hal ini membuatnya sangat bingung.

"Sepertinya ... aku tak bisa membantumu," akhirnya, ia memilih untuk tidak membantu James.

Sontak, James mengernyit bingung. "Kenapa kau tak mau membantuku, Ray? Apa kau takut?"

"Tidak," kata Ray cepat. "Aku tidak takut. Aku punya alasan tersendiri dan aku tak bisa memberitahumu." Tentu saja karena ia tak ingin persahabatannya dengan Arya menjadi lebih buruk lagi. Jika ia membantu James, maka habislah sudah James akan mengetahui semuanya, termasuk saat ia masih mencurigai Ian sebagai pembunuh psikopat. Ia tak ingin James terburu-buru menangkap dan menghukum Ian tanpa bukti. Arya juga akan membenci dirinya selamanya, dan ia takut persahabatan mereka berakhir. Juga, Chloe takkan pernah mencintainya lagi.

James pun mendengus kesal. Ia tak menyangka kalau Ray menolak untuk membantunya. Namun, ia tak bisa memaksa Ray karena Ray mempunyai alasan tersendiri untuk tidak diungkapkan.

Tiba-tiba, terbesit di pikiran James berbagai macam alasan Ray untuk tidak membantunya. Juga, benaknya penuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang melimpah. Ia mencoba untuk bertanya pada Ray, "apakah alasanmu itu karena kau membantu melancarkan aksi pembunuh psikopat itu, Ray?"

Tubuh Ray pun menegang, rahangnya mengeras. Giginya spontan bergemelatuk. Ia berusaha setenang mungkin. Ingin rasanya ia menjerit nama Ian di hadapan James. Tetapi, ia tak bisa. Bukan hanya tenggorokannya yang tercekat, namun bibirnya seperti di lem.

"Tidak. Mana mungkin aku membantu si sialan itu. Kalau aku membantunya, mungkin sudah kulaporkan segalanya kepadamu, juga pada Arya untuk membantu menyiapkan beritanya," katanya penuh hati-hati.

Tentu saja tak mungkin Ray bekerjasama dengan pembunuh psikopat itu. James yakin akan hal itu. Ia lalu mempercayai Ray, dan tak menemukan hal yang mencurigakan dari dirinya.

"Maafkan aku. Sayang sekali, kau tak dapat membantuku. Kau boleh pulang," desah James.

Ray bergegas bangkit dan melangkah sepelan mungkin. Ia ingin segera pergi dari ruangan itu. Mungkin, ia takkan ingin kembali bertemu dengan James lagi. Atau dirinya tak dapat terkontrolkan karena ingin mengatakan semuanya pada James.

***

Arya menatap kalung di lehernya begitu lama di depan cermin. Kini, ia sudah berada di apartemennya. Ia merindukan Ian, walaupun baru beberapa hari Ian meninggalkannya karena urusan bisnis. Jika dia begitu posesif dan egois, mungkin bisa saja dia menyuruh Ian untuk tidak pergi kemanapun tanpa dirinya. Untung saja dia adalah wanita yang dewasa dan pengertian, walaupun terkadang bertingkah kekanak-kanakan.

YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang