43

179 30 6
                                    

(Rebecca Black - The Great Divide)

Author's note:

Hi Good Readers! Finally Update! :D This chapter, I really need your comment and opinion.. so, please leave your C&P in comment column :) Thanks -Hx

***

"Tuan, ada Nona Ports di depan," Sharon memberitahu Ian kedatangan Arya, sembari menyerahkan beberapa dokumen pada Ian.

"Kenapa tidak masuk? Jika Arya datang, langsung saja suruh ia masuk," ungkap Ian bingung. Sharon lalu keluar dan menyuruh Arya masuk.

Arya melangkah dengan hati-hati. Ia berusaha menenangkan perasaannya yang begitu tegang, dan jantungnya yang berdetak kencang. Aku harus bertanya pada Ian untuk membuktikannya, aku siap jika ia membentakku kali ini.

"Sayang, kenapa tidak menelponku kalau kau akan datang?" Ian lalu beranjak, dan langsung memeluk Arya. Ia pun mengajak Arya untuk duduk di sofa.

Arya berusaha mengatur napasnya. Kelihatan sekali ia begitu tegang dan gugup. Namun, ia harus bisa melakukannya. "Aku ingin bicara serius, sayang."

Ian mengernyit bingung. Ia lalu memberikan segelas air pada Arya. Sontak, Arya meneguk habis air tersebut. Ia lalu terkekeh, "astaga, haus sekali, ya? Mau lagi?"

Arya mengangguk kaku. Ian kemudian menuangkan air lagi. "Aku benar-benar ingin bicara serius padamu," desak Arya.

"Baiklah. Apa yang ingin kau bicarakan, sayang?" Ian bersiap untuk mendengarkan Arya.

Arya menghela napasnya. Ia lalu meletakkan gelas tersebut di meja, dan mengeluarkan ponselnya. Kemudian, ia menunjukkan foto pisau tersebut pada Ian, "apa ini milikmu?"

 Kemudian, ia menunjukkan foto pisau tersebut pada Ian, "apa ini milikmu?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ian mengernyit saat melihat pisau tersebut. Ia terdiam, seketika perasaan tidak enak menusuk dadanya. "Kenapa kau berkata begitu, sayang?" Ia berusaha tenang.

"Tujuh korban pembunuhan, dan salah satu dada korban tertancap pisau ini. Aku mengenal pisau ini karena saat berada di kamarmu, aku tak sengaja membongkar laci-lacimu dan aku menemukan senjata-senjata, dan salah satunya pisau yang mirip sekali dengan ini. Aku minta maaf karena telah membongkar barang-barangmu. Namun, aku mohon, aku meminta penjelasanmu saat ini. Aku berharap kalau bukan dirimu yang melakukan pembunuhan tersebut. Bukan kekasihku yang melakukannya."

Deg! Jantung Ian berdegup kencang. Arya bukanlah wartawan biasa. Ia pintar. Seketika, tenggorokan Ian tercekat. Ia kemudian menatap Arya yang sedang memohon padanya. Rasanya susah sekali untuk jujur, namun belum saatnya ia berkata kebenaran. Bahkan, korbannya belum mencapai urutan Arya. Namun, ia sengaja meletakkan pisau tersebut demi berita Arya, bukan untuk seperti ini. Bukan malah bertanya balik padanya. Jelas, Ian belum siap akan hal itu.

Ian berusaha tersenyum lembut pada Arya. "Aku tidak marah padamu kalau kau memeriksa barang-barangku, Arya. Karena, barang-barangku, juga milikmu. Juga, aku tak membunuh orang, kecuali Bee. Itu karena terpaksa." Maafkan aku karena berbohong padamu Arya, aku belum siap untuk mengatakan kebenarannya. Belum saatnya giliranmu tiba. Disaat giliranmu tiba, aku akan berusaha mengatakan semuanya, dan keputusan ada di tanganmu, Arya.

YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang