06

264 51 18
                                    

Author's note:

Hiiii!!! Jangan lupa Comment dan Votenya! Thank you so much.... mmmuuuuaccchh! -Hx

***

"Terima kasih telah mengantarkanku pulang, Chloe," ucap Arya. Ia segera keluar dari mobil Chloe.

"Tentu. Tidur yang nyenyak," seru Chloe dari dalam mobil. Arya pun tersenyum pada Chloe dan lalu ia menutup pintu mobil Chloe.

Sesampai di apartemennya, Arya meletakkan barang-barangnya di sofa. Ia lalu merebahkan dirinya di ranjang. Tiba-tiba, ia teringat pada seorang pria yang ditabraknya tadi. "Pria yang aneh, tetapi tampan juga," gumamnya. Ia teringat sorot mata biru pria itu yang tajam. Sontak, ia menggeleng-gelengkan kepalanya lalu ia tertidur.

Suara bel berbunyi membuat Arya tersentak bangun. Arya pun mengusap-usap wajahnya dan lalu melihat jam. "Sudah pukul delapan pagi. Hari ini adalah hari Sabtu. Aku lupa kalau aku hari ini libur," gumamnya sendiri. Lalu, ia mendengar suara bel apartemennya berbunyi lagi. Ia segera bangkit dan menuju pintu.

"Hai, duck." Ray datang. Arya pun tersenyum simpul melihatnya tiba.

"Hei. Masuklah," Arya mempersilahkan Ray masuk. Ray segera duduk di sofa. Arya menyiapkan kopi untuk Ray dan dirinya.

"Ada apa Ray?" tanya Arya sembari menuangkan kopi ke cangkir.

"Well, aku menemukan suatu keajaiaban," seru Ray. Ia dengan cepat menyalakan laptopnya.

Arya datang membawa dua cangkir kopi. Ia meletakkan di meja, dan lalu duduk di samping Ray. Ia menatap laptop Ray. Ray sedang mengetik-ngetik sesuatu. Lalu, muncullah sebuah dokumen.

"Apa itu?" tanya Arya penasaran. Ray pun mengklik dokumen tersebut. Betapa terkejutnya Arya melihat isi dokumen tersebut. "Tidak mungkin."

"Ini nyata, Arya. Ini adalah daftar korban yang akan dibunuh. Aku menjelajahi lebih dalam kode yang kau berikan dua hari yang lalu. Ternyata, aku menemukan dokumen sial ini," gerutu Ray.

Arya masih tidak percaya. Daftar korban sebanyak dua puluh orang dan semua itu adalah orang yang berpengaruh. "Siapa korban selanjutnya setelah Jack Frostman?"

Ray menggeser kursornya. "Seorang aktris. Milla Hope. Apa salahnya hingga ia juga masuk ke dalam daftar ini?"

Mata Arya melotot melihat korban selanjutnya. Tidak mungkin! teriaknya dalam hati. Arya pun panik Ia harus segera melaporkan hal ini pada James. "Akan aku beritahu James. Ini adalah hal yang paling sial yang pernah kulihat."

"Arya ..." Sontak, Ray begitu bergetar saat memanggil Arya. Wajahnya pun langsung pucat pasi.

"Ada apa, Ray?" tanya Arya bingung.

"Kau ... kau ada dalam urutannya yang terakhir," seketika, Ray pun menjadi lemah. 

Arya begitu terkejut dan tak percaya mendengar ucapan Ray. Ia juga menjadi target dari pembunuh psikopat itu. Ia begitu terdiam, dan tak tahu harus melakukan apa. Kematiannya begitu dekat.

"Sialan! Dasar psikopat gila!" umpat Arya emosi. Ia pun memegang kepalanya. Ray sontak memeluknya dari belakang.

"Arya, tenanglah. Kita akan laporkan hal ini pada James." Ray berusaha menenangkan Arya. Arya berusaha mengatur napasnya yang tersengal-sengal. Tujuannya hanyalah mengungkapkan siapa pembunuh psikopat itu sebenarnya. Namun, takdir berkehendak lain. Dirinya termasuk dalam salah satu daftar korban yang akan dibunuh.

"Tidak," tegas Arya. Ray lalu melepaskan pelukannya. Arya menatap Ray. Matanya tampak berkaca-kaca. "Jangan beritahu James tentang aku yang masuk ke dalam salah satu daftar sialan itu. Kita akan beritahu James siapa korban selanjutnya."

Ray menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia sangat tidak setuju pada Arya. Hanya Arya yang ia punya sekarang. Ia telah menganggap Arya adalah bagian dari keluarganya. "Tapi, Arya, aku tidak setuju denganmu. Hanya kau yang aku punya. Aku sudah menganggap dirimu sebagai keluargaku, Arya."

"Ray," tegas Arya. "Berjanjilah padaku satu hal. Jika aku telah dibunuh, kau harus berjanji untuk mengatakan semuanya pada James. Jangan beritahu hal ini pada siapapun sebelum aku dibunuh, termasuk Chloe atau James. Namun, saat aku sudah dibunuuh, kau baru boleh mengatakannya. Berjanjilah padaku, Ray."

Air mata Ray mengalir. Ia tak ingin mengabulkan permintaan Arya. Tapi, Arya yang memintanya. Ia bahkan tak sanggup melihat mata Arya yang berkaca-kaca. "Arya, aku ..."

"Ray, berjanjilah padaku. Aku mohon. Kita harus menemukan pembunuh sialan itu sebelum ia membunuhku agar James bisa mengejarnya. Aku mohon padamu, Ray." Arya mulai terisak-isak. Ray bimbang dengan permohonan Arya. Seharusnya Arya tak melakukan hal ini.

"Baiklah. Aku berjanji." Ray akhirnya mengalah. Mereka pun saling berpelukan. Ray tak ingin merelakan Arya pergi.

"Terima kasih, Ray," ucap Arya terisak-isak. Mereka lalu saling melepaskan pelukan. Arya pun segera mengambil ponselnya. Ia lalu menelpon James.

"Halo, ada apa Arya?"

"James. Aku punya sesuatu untukmu," ucap Arya yang berusaha tenang dan tersenyum.

***

"Ini korban selanjutnya, anakku." Frederick menyerahkan dokumen pada Ian. Ian membuka dokumen itu.

"Milla Hope. Aktris sialan itu," umpat Ian. Ia lalu menutup dokumen itu dan menyerahkannya kembali pada Frederick.

"Dia pernah berusaha menjatuhkan harga diriku. Aku mendengar dari salah satu informanku, ia masih ingin menjatuhkanku walaupun aksinya tidak sebesar dulu," dengus Frederick. 

Lalu, ia mengambil tongkatnya. Ia berjalan menuju arah jendela. Ia melihat Maverick berjalan mengelilingi taman bersama seorang wanita. "Dia sedang bersama tunangannya. Begitu senang melihat mereka bahagia."

"Iya, Tuan Frederick," desah Ian. Ia masih berdiri tegap menunggu Frederick selesai berbicara dengannya.

"Ella Hooper. Seorang perawat yang bekerja di salah satu rumah sakit di Wales. Maverick bertemu dengannya sekitar dua tahun yang lalu di sebuah konser musik. Kau pasti masih ingat saat ia merengek dan menangis seperti anak kecil ketika Ella pergi darinya karena kesalahannya sendiri," jelas Frederick. Ia pun tersenyum senang. 

"Tentu saja, Tuan Frederick. Aku bahkan begitu repot menenangkannya," kekeh Ian. Frederick pun berbalik dan berjalan pelan ke arah Ian.

"Aku mencampakkan aktris sial itu. Itulah yang terjadi. Aku ingin kau menyiksanya terlebih dahulu. Sekarang, pergilah," titah Frederick. Ian pun mengangguk. Lalu, ia berbalik dan melangkah keluar.

"Ian," Frederick memanggil Ian. Langkahnya pun terhenti. Lalu, ia pun berbalik.

"Ya, Tuan Frederick?" tanya Ian.

"Apa kau bertemu dengan wanita itu tadi malam?"

"Ya, tuan."

"Bagaimana wanita itu sekarang?" Ian terdiam. Ia menyunggingkan senyum. Frederick pun tersenyum melihat Ian tersenyum. Baginya, senyuman Ian adalah hal yang paling penting karena dia tak ingin melihat Ian begitu kaku dan serius.

"Ia tampak ... luar biasa," jawab Ian canggung.

"Hanya itu?"

"Ya. Permisi, tuan." Ian segera melangkah keluar. Tuan Frederick tersenyum. Aku harus bertemu dengan wanita itu sendirian, ucap Frederick dalam hati.

***

"Arya, apa kau bercanda?" tanya James tak percaya. Ia lalu mengusap janggutnya yang cukup tebal.

"Tentu, James. Aku tidak bercanda," tegas Arya. Ray pun mengangguk setuju.

"Darimana kau dapatkan buktinya?" tanya James penasaran.

"Aku menemukan buktinya dari kode itu. Aku tidak bercanda, James. Namun, tidak tertulis waktu kapan Milla Hope akan terbunuh. Waktunya tidak ada. Aku bahkan tak bisa menemui polanya," desah Arya. James lalu mengangguk paham.

"Baiklah. Ini adalah hal serius. Aku percaya padamu, Arya. Ray, terima kasih telah membantu Arya." James segera berdiri meninggalkan ruangan. Ia lalu pergi dengan tergesa-gesa.

***

Thank you for reading :)

YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang