Jika takdir mulai bermain, akhir kisah menjadi sekadar bayangan, entah bayangan kebahagian atau justru kesedihan.
°°°°°°
PELAJARAN seni budaya akan dimulai. Langkah Linzy terburu-buru di koridor. Bu Santi selaku wali kelas dan guru yang akan mengajar kelasnya beberapa menit lagi, memaksanya agar cepat tiba di kelas. Padahal kaki Linzy terasa berdenyut sebab kelamaan berjongkok di taman tadi.
Dijarak yang sedikit jauh, Zion memandang penuh senyum kaki jenjang Linzy yang tergesa. Keisengan lagi-lagi muncul, dia menyamakan langkahnya dengan si perempuan. Yang langsung disambut pelototannya.
"Ngapain lo?!" tanyanya ketus.
"Mau ke kelas lah, pake nanya." Zion berujar tenang.
Sepanjang koridor meninggalkan senyap, menciptakan langkah kaki terdengar lebih jelas. Banyak guru yang sudah keluar dari kelas jam ke-limanya. Sebelum menuju kelas lain.
"Terus ngapain jalan di samping gue?!" Tinggal tunggu saja bom emosi Linzy meledak—lagi.
"Emang kenapa?" Zion balik bertanya. Wajah polosnya ingin sekali Linzy benturkan ke tembok. "Nggak boleh?"
Diredamnya emosi, Linzy mengembuskan napas. "Lo bisa nggak sih sehari aja nggak gangguin gue? Biarin hidup gue tenang sehari aja."
Diam, Zion memasang raut seolah tengah berpikir. Mengetukkan jari telunjuk di dagu. "Enggak," jawabnya kemudian. Membuat Linzy terbelalak. "Hidup gue nggak akan bewarna kalo nggak ngeliat wajah murka lo. Imut sih!"
Akhir kata, Zion kedipkan sebelah mata. Menyadarkan Linzy jika lelaki itu hanya mengganggap dirinya bahan candaan.
"Gue nggak bakalan mempan sama gombalan receh lo!"
Justru nada ketus itu mengangkat kedua sudut bibir Zion.
Melanjutkan langkah. Baru terhitung beberapa langkah, kaki Linzy mendadak terpaku. Pandangannya berlabuh pada dua insan yang tengah duduk mengobrol di depan kelas XI-IPA4. Saling merangkul dan berbagi tawa.
Pelan-pelan, ia menoleh pada Zion. Tetapi lelaki itu tampak tak acuh, bahkan yang lebih mencengangkan, dia justru melangkah, mendekati dua insan yang tak lain ialah mantan kekasih bersama kekasih barunya; Laras dan Kevin.
Bertos ala-ala cowok Zion bersama Kevin.
Melihat keduanya, mengingatkan Linzy dengan perkataan Cindy di taman tadi. Laras dan Kevin selingkuh di belakang Zion. Mungkin karena merasa tak dihargai, Zion membalas perlakuan Laras dengan bermain belakang bersama Cindy—teman Laras sendiri.
Siapa yang salah? Siapa yang benar? Atau mereka berdua memang salah? Dan Linzy pun tidak tahu harus menjatuhkan kepercayaannya dengan siapa?
Ck ... dia paling benci di saat seperti ini, disaat dia menaruh kepedulian pada seseorang. Masih terpatri jelas, bagaimana wajah sedih Laras kala Zion menerima permintaan untuk mengakhiri hubungan mereka di kantin.
Ketika itu pasti tidak ada yang percaya bila Laras selingkuh. Terlebih melihat wajah kecewa yang tersirat di wajahnya. Mereka sudah sepantasnya menyalahkan Zion. Tanpa peduli siapa yang benar-benar salah, termasuk Linzy.
Secepat itu dia menarik kesimpulan. Tanpa melihat dulu kebenarannya.
Wajah Zion tampak kalem mengobrol singkat bersama Kevin. Tidak ada tanda dia akan menonjok Kevin atau pun kemarahan yang biasanya cowok lakukan saat melihat seseorang yang merebut kekasihnya.
Apa lelaki dan perempuan berbeda? Sepertinya tidak. Pasti ada rasa dendam saat ada seseorang teman yang dikenalnya main belakang bersama kekasihnya. Iya kan?
KAMU SEDANG MEMBACA
|2| Falsity ✓
Teen Fiction[SELESAI] [Follow terlebih dahulu untuk membaca] Seri kedua dari trilogi Regha-Zion-Arven ❝Terkadang butuh kepalsuan untuk menutupi seluruh luka yang menganga.❞ Cinta butuh kejujuran. Persahabatan pun terkait dengan kata itu. Lalu bagaimana dengan l...