FF(62) ● Yang Hati Inginkan?

4.5K 368 70
                                        

Cieee nungguin ya? Wkwkwk

Jangan lupa vote sama komennya, biar semangat gitu akunya

°°°

KEPUTUSAN hakim sudah diambil. Orang tuanya resmi bercerai sore kemarin. Sisa semalam Papa tinggal di sini, sebelum besoknya kembali ke Italy—negara asalnya.

Sesakit-sakit hatinya Linzy karena hal yang papanya lakukan di masa lalu. Dia masih menyayangi Papanya. Dia tak mampu membayangkan kehidupan Papa di sana.

Di Negara asal, Jeovan tidak punya siapa-siapa. Keluarga Jeovan telah tiada. Orang tuanya sudah meninggal sejak papanya berusia lima belas tahun. Dia anak satu-satunya.

Jadi bisa bayangkan bagaimana Jeovan yang bekerja banting tulang, meneruskan bisnis keluarga sejak usianya yang masih remaja.

Saat kecil, Jeovan sering menceritakan kisah kehidupannya itu. Linzy yang masih berusia tujuh tahun cuma bisa memberikan papanya ciuman dan pelukan di ujung kisah. Dan mengatakan, "Tapi sekarang Papa punya, Zizi."

Kenang-kenangan manis itu yang sirna dari kepala. Semuanya lenyap tak tersisa. Terdorong oleh satu kesalahan fatal yang papanya lakukan. Itu rencana yang Tuhan berikan. Kebahagian yang utama dan kesedihan hanya pelengkapnya. Yang di bagian akhir kesedihan itu punah dan kebahagian yang menang.

Linzy menarik napas panjang. Dia telah menerima takdir dan dia yakin dia bisa melepaskan papanya pergi.

Barang-barang penting telah dimasukan di dalam mobil. Linzy menatapnya dengan ketegaran yang diupayakan. Para pembantu bekerja keras merapihkan sisanya. Saat semuanya beres, ruang keluarga ramai. Semua yang bekerja di rumah Linzy, berkumpul untuk perpisahan terakhir.

Di sana banyak orang. Namun, Linzy merasa sepi. Kesepian yang menyesakkan dadanya. Papa keluar kamar bersama koper di tangan. Untuk koper-koper yang lain telah dimasukkan ke dalam bagasi.

Dia mengepalkan kedua tangan, cara agar tirta tak jatuh di sudut mata. Semalaman Linzy telah berpikir. Bahwa dia bisa melepaskan sang papa.

Namun, nyatanya bayangan tak selalu sama seperti kenyataan.

Melihat kepergian sang papa secara langsung, membuat sesaknya lebih mengikat. Begitu kuat hingga dia tak bisa bernapas. Sakit. Dadanya sakit.

Jeovan berjalan mendekat. Linzy langsung menyambutnya dengan pelukan. "Linzy gak mau Papa pergi!" jujurnya sambil terisak. Tidak ada anak perempuan yang bisa membenci papanya lama-lama. Walaupun seberapa dia menyakiti. Apalagi disaat sang Papa bersiap pergi dan pertemuan mereka akan jarang terjadi.

Linzy tidak bisa. Nyatanya dia belum siap berpisah dengan papanya.

"Pa—Papa, Linzy gak mau ...." Pilu itu terdengar dalam nada tangisnya. Jeovan makin mengeratkan pelukan. Berharap anaknya akan tenang.

Sunyi tercipta di sana. Cuma tangisan Linzy bersama isakannya. Para pekerja lelaki sekadar diam. Berbeda dengan para perempuan yang mulai berkaca-kaca. Mereka telah bekerja sejak lama. Jadi tak ada alasan mereka untuk tidak ikut sedih melihat situasi ini.

Jeovan sedikit mengurai rengkuhan. Menatap anaknya bersama air mata yang menggenang. Diusapnya air mata Linzy perlahan, yang justru mengundang air matanya yang mengalir di pipi. Seperti yang papanya lakukan, Linzy ikut mengusap air mata di pipi papanya.

Clara yang juga menjadi saksi, hanya membuang muka. Seolah pemandangan di depan mata sangat menganggu keputusan yang telah diambilnya.

Jeovan tersenyum dalam tangisnya. Mengambil tangan Linzy di pipinya dan dicium berulang kali.

|2| Falsity ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang