[SELESAI] [Follow terlebih dahulu untuk membaca]
Seri kedua dari trilogi Regha-Zion-Arven
❝Terkadang butuh kepalsuan untuk menutupi seluruh luka yang menganga.❞
Cinta butuh kejujuran. Persahabatan pun terkait dengan kata itu. Lalu bagaimana dengan l...
Yuhuuuu ... udah up. Jangan lupa vote dan komen ya sayangkuhh😚
°°°
PADA sore harinya Linzy merasa baikkan. Tubuhnya sudah tak berkeringat dingin lagi. Perutnya juga sudah tak menolak makanan meski tidak bisa banyak yang masuk. Sisa pusing di kepalanya saja yang membuatnya tidak bisa kemana-mana selain berbaring.
Bertetapan dengan dia yang hendak menghidupkan televisi plasma di kamarnya, pintu terketuk dari luar. Niatnya terurung dia menaruh kembali remote-nya di atas laci samping ranjang.
Tak perlu mengetuk dua kali sebagai tanda, Bi Marni, pembantu sekaligus pengasuhnya sejak kecil mendorong pintu kamarnya.
"Itu Non, ada temennya. Bibi suruh masuk aja?"
Dahi Linzy berkerut bingung. Sejak kapan Retta dan Shena harus susah payah menyuruh Bi Marni meminta izin. Biasanya juga langsung ke atas dan masuk begitu saja ke kamarnya. Saat pulang sekolah tadi, memang Retta menelpon jika dia dan Shena akan datang menjenguk.
Ah ... kepala Linzy sudah pusing. Bagaimana mungkin dia mau capek-capek berpikir untuk hal tak penting. Kepalanya mengangguk seadanya dan berkata, "Suruh masuk aja Bi."
Bi Marni tampak ragu tapi tak mengatakan apapun. Pintu kembali tertutup. Tak butuh waktu lama untuk pintu terbuka lagi.
Linzy menoleh, berniat menyambut Retta dan Shena. Tapi seharusnya Linzy tahu arti dari keanehan yang ditangkapnya tadi. Dia membeku di ranjang. Kaku. Tak bisa bergerak.
Yang Linzy harapkan sekarang hanyalah ranjangnya bisa menelannya hidup-hidup. Dia belum siap bertemu dengan Lian. Apalagi kini dia tengah memakai koleksi piyama permen warna-warni kesukaannya.
"Gue boleh masuk?"
Linzy tersadar dan refleks membenarkan posisi tidurnya untuk menyandar. Membiarkan selimut jatuh menumpuk di pinggang.
"Ma-masuk aja, Yan."
Usai mendapatkan izin, Lian tak perlu menunggu, kakinya terayun masuk. Senyumnya mengembang. Di tangan kirinya ada paper bag. Tapi bukan itu yang menarik perhatian Linzy, fokusnya lebih terpusat pada bunga yang terangkai rapi di tangan kanan cowok itu.
Di sisi ranjang, Lian berhenti sambil meletakkan paper bag di atas laci. Sementara bunga yang dominan warna kuning dan putih itu diberikan pada Linzy.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Buat apa lo bawa bunga?"
Senyum Lian makin tertarik lebar. "Buat lo!"
Yang Linzy maksud bukan itu! Lian seharusnya menjelaskan bagaimana bisa cowok itu membawa bunga. Padahal dipesan tadi, dia tidak mengatakannya.
Mengerti raut wajah Linzy, yang cowok tertawa. "Gue awalnya gak bawa bunga pas jalan ke sini. Tapi kebetulan di jalan, gue lewat toko bunga dan kepikiran lo. Ya jadinya gue beli."