Vote dan komen boleh gak nih?
Itung-itung penyemangat aku gitu disaat tugas numpuk kayak cucian haha.
°°°
TIDAK ada perbedaan yang tampak pada apartemen Zion. Semuanya masih terlihat sama saat Linzy ke sini untuk pertama kali.
Seperti warna gading yang menghias dinding. Berbagai lukisan yang terpasang di sana, yang menyisakan ruang tengah untuk pigura besar bersama pigura kecil di kanan-kirinya. Sofa panjang yang tergeletak di depan televisi, juga single sofa di sisi kiri.
Tidak ada yang berubah. Termasuk foto pada pigura besar bewarna silver, yang menyedot pikiran Linzy untuk kali pertama. Foto Zion yang berada di gendongan sang ayah.
Perhatiannya tak terlalu lama jatuh ke sana, berkat pigura kecil berisi foto Zion bersama bunda-ayahnya.
Di masa lalu, wajah bunda mungkin asing di mata Linzy. Namun kini, dia sudah mengenal bagaimana sikap lembut, penyayang, penuh perhatian sosok wanita itu.
"Yaelah kenapa liatin foto gue mulu sih?! Gue tau, gue ganteng. Tapi gak usah sampe segitunya!"
CIH! Jika bukan karena cowok itu sudah mau menampungnya, sudah Linzy pukul kepalanya karena sikap pede itu.
"Geli gue. Padahal, gue ngeliatan muka bokap lo, yang keliatan lebih ganteng. Udah tua aja ganteng, apalagi pas SMA."
"NAH!" Zion malah berseru bangga. "Buah emang gak jatuh jauh dari pohonnya. Bokapnya ganteng pasti anaknya jauuuuuuh~ lebih ganteng."
Linzy mendengkus. "Tapi kalo diliat muka bokap lo sama lo tuh beda jauh!"
Kali ini tidak ada balasan. Dahi Linzy tentu berkerut diikuti kepalanya yang menoleh. Ini alasannya kenapa tidak ada yang membalas sebab Zion diam di sampingnya bersama ekspresi kaku itu.
Dia salah bicara kah?
Hampir satu menit, cowok itu mengatupkan bibir. Sampai perlahan sudut bibirnya terangkat, tampak mengejek. "Mata lo kayaknya mulai rabun, Zi. Jelas-jelas bokap gue sama gue tuh sebelas dua belas. Bedanya gue masih ganteng tanpa kerutan."
Tidak ingin lagi Linzy berkomentar. Takut salah bicara.
"Udah ah, kenapa jadi ngomongin bokap gue dah, kasian kupingnya panas nanti." Lelaki itu berjalan santai melewati Linzy. "Mending tidur udah malem."
"Dimana bokap lo?" Itu refleks. Membahas hal tadi pastinya tak dapat lagi menahan keingintahuan Linzy. Sementara Zion berhenti di depannya. Cukup dari punggung, dia tahu cowok itu menegang mendengarnya.
"Hah?" Zion berbalik. Seribu sayang rautnya masih terkendali seperti biasa. Yang sulit bagi Linzy untuk menebak-nebak asli di balik wajah itu.
"Bokap lo? Dia di mana?" Ini posisi tanggung untuk Linzy mundur.
"Ada," Zion menjawab tenang. "Dia ada di luar sekarang."
"Hah?" kali ini Linzy yang dibuat bingung. "Maksud lo, dia di luar negeri?"
Tidak ada lagi jawaban. Sekadar senyum simpul yang mengukir di wajah Zion. Linzy makin tak mengerti.
"Kan gue udah bilang jangan ngomongin bokap gue mulu, kasian kupingnya kepanasan nanti." Zion memang hebat untuk mengendalikan diri. "Udah, gue anter ke kamar sekarang."
"Eh?" Sempurna sudah kalimat Zion menghapus beribu pertanyaan di kepalanya. "Emang apartemen lo punya dua kamar?"
Zion menggeleng.
KAMU SEDANG MEMBACA
|2| Falsity ✓
Novela Juvenil[SELESAI] [Follow terlebih dahulu untuk membaca] Seri kedua dari trilogi Regha-Zion-Arven ❝Terkadang butuh kepalsuan untuk menutupi seluruh luka yang menganga.❞ Cinta butuh kejujuran. Persahabatan pun terkait dengan kata itu. Lalu bagaimana dengan l...
