Pertengkaran orang tua anak yang terkena imbasnya.
Hancurnya keluarga lagi-lagi anak yang menderita.
°°°°°
LATIHAN hari ini tidak menghasilkan apa-apa. Kebanyakan bercanda dibanding seriusnya. Berjam-jam waktu Linzy terkuras hanya untuk mendengar lelucon dan tingkah Zion yang tidak waras. Memang ada saat Zion dan dirinya mencoba serius tetapi itu tidak pernah bertahan lama.
Cara Zion memainkan gitar sudah jelas menunjukkan hebatnya bakat lelaki itu. Terlebih dengan suaranya yang terbilang merdu. Mungkin kalau Zion tidak menunjukkan bakatnya sebatas untuk bahan candaan atau guyonan. Linzy tidak akan menutup mata soal kehebatannya.
Dia sudah kesal duluan, setiap kali Zion dan kawanan gilanya berkumpul di depan papan tulis sambil bernyanyi. Sudah bisa ditebak yang akan menjadi bahan ledekkan nyanyian mereka. Linzy hanya bisa diam tanpa menggubris, berusaha menulikan telinga. Meski terkadang dia hilang kendali, dan melemparkan mereka semua dengan penghapus papan tulis.
Bahkan selama berjam-jam yang terbuang itu, mereka belum menentukan lagu yang akan mereka nyanyikan. Linzy sudah kesal dan ingin cepat pulang, kebetulan matahari beberapa menit lagi meninggalkan horizon, ikut berpulang ke peraduannya.
Latihan mereka ditunda, mungkin akan dilanjutkan di hari senin pulang sekolah. Di ruang musik. Sekalian juga mereka ingin meminta pendapat Bu Santi untuk lagu yang akan mereka bawakan saat acara pensi nanti.
Zion mengantar Linzy sampai di tempat mobilnya terparkir. "Sori," ucap yang lelaki. Menghentikan gerakan Linzy membuka pintu mobil. "Gue mau serius latihan tadi, tapi ... entah kenapa kalo di samping lo gue nggak pernah bisa serius. Penginnya jail aja gitu."
Tanpa banyak kata untuk menjawab. Linzy hanya menutup pintu mobilnya kencang. Melaju meninggalkan Zion begitu saja.
Kelembapan yang tertinggal sehabis hujan yang mengguyur beberapa jam lalu juga menciptakan beberapa genangan di jalan. Hujan deras tadi kini berganti menjadi rintik kecil. Sedikit membuat kaca depan mobil Linzy basah.
Mobil biru itu masih merayap di jalan sampai lajunya perlahan memelan karena telah mencapai tempat tujuan. Diinjak gasnya penuh untuk bisa menanjaki rumah bergerbang hitam keemasan di salah satu perumahan elit di daerah Pondok Indah tersebut.
Linzy pun mematikan mobilnya, hendak turun jika saja Pak Dayat—satpam rumahnya, yang tadi juga membuka gerbang—cepat-cepat menghampiri, yang memaksa Linzy menurunkan kaca mobil.
"Kenapa, Pak?"
"Itu, Non. Anu itu ... anu." Pak Dayat tergagap seolah bingung menjelaskan.
"Anu apa Pak?" Linzy tertawa.
"Itu Non, Nyonya dan Tuan udah pulang dari relasi bisnisnya masing-masing," jelas Pak Dayat takut-takut.
Keruh diwajah tidak bisa Linzy tahan. Tawanya lenyap disertai tangan mencengkeram setir dengan erat.
Kalimat 'masing-masing' yang terlontar dari mulut Pak Dayat menyuruh Linzy untuk menelan pil pahit. Mengingatkan hubungan kedua orang tuanya yang tidak pernah berjalan harmonis. Keegoisan semata yang berusaha masing-masing pertahankan.
Bahkan mereka tidak lagi memberikan sedikit perhatian pada putri semata wayangnya. Putri satu-satunya. Putri yang seharusnya mereka jaga dan lindungi.
Mata hati kedua orangtunya telah tertutup oleh ego dan harga diri. Tidak ada waktu yang mereka berikan, tidak ada canda tawa yang mereka bagi. Hanya uang yang setiap bulan mereka kirim untuk memenuhi kebutuhannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
|2| Falsity ✓
Roman pour Adolescents[SELESAI] [Follow terlebih dahulu untuk membaca] Seri kedua dari trilogi Regha-Zion-Arven ❝Terkadang butuh kepalsuan untuk menutupi seluruh luka yang menganga.❞ Cinta butuh kejujuran. Persahabatan pun terkait dengan kata itu. Lalu bagaimana dengan l...
