ANAK basket terbiasa berlatih di lapangan indoor. Apalagi disaat perlombaan antar sekolah di depan mata. Semakin terlihat sibuk mereka mempersiapkan diri untuk pertandingan.
Jadi wajar banyak siswa yang keluar-masuk pintu lapangan indoor. Seharusnya begitu, tetapi tiga perempuan yang berdiri menghalangi pintu, menjadikan beberapa dari anak basket mendengkus, sesekali menyuruh si perempuan menyingkir.
Seolah enggan peduli, ketiganya tidak beringsut, masih serius berdebat tidak jelas.
"Serius Zi lo itu lebih keras kepala dibanding kucing hamil di depan rumah gue," Shena tampak bersungut-sungut. "Apa susahnya sih lo kasih ini ke dia. Ayolah!"
Malas memandang benda di tangan Shena. Linzy menarik napas lelah. "Shen, gue cuma nggak mau dia nganggep gue itu salah satu bagian dari perempuan alay. Harus berapa kali gue bilang!"
"Lo nggak teriak-teriak alay kayak penonton bayaran di TV! Lo cuma ngasih minuman ini ke Lian. Emangnya ngasih minuman jadi bagian dari perempuan alay gitu?" alis Shena terangkat sebal.
Linzy menggeram tertahan. Lima menit waktu mereka bertiga terkuras hanya karena perdebatan tidak jelas ini. Ralat, Retta tidak terlibat. Perempuan itu kelihatan malas untuk ikut berdebat.
"Itu juga salah satu trik modus kan?" Linzy bertanya kesal. "Jadi sama aja, alay-alay juga! Lagian gue ke sini cuma mau ngeliat dia latihan. Sebatas itu!"
Shena berdecih. "Lo pengen Lian peka sama perasaan lo. Tapi lo aja nggak ada pergerakan sedikit pun, justru lo cuma diam doang kayak orang bego!"
Linzy mendadak panas. "Oh! Maksud lo gue harus berubah jadi agresif, ngedeketin dia duluan. Nempel-nempel terus supaya dia peka?"
Rasanya Shena ingin menggetok kepala sahabatnya dengan sapu. "Ya nggak gitu juga lah! Yang ada ilfeel dianya!" Lalu perempuan bermata sipit itu membuang napas lelah sementara Linzy mengawasi wajah Shena yang berubah lesu.
"Sebenarnya gue bingung, jadi cewek itu serba salah. Deketin duluan dikira murahan, nungguin dia peka eh, malah keburu diambil orang."
"'Hati seorang Shena pun berbicara' Bagus tuh buat judul ftv para Ibu-Ibu rumpi!" timpal Linzy kelewat malas. "Bener gak, Ta?"
"Hahaha," Shena menyela, tertawa garing. "Lucu banget lo, sampe gak ngakak gue!"
"Eh udah dong debatnya! Malu diliat orang." Telinga Retta sudah penat, mendengar perdebatan mereka. Lalu dia berpaling pada Shena. "Ya, maklumin aja sih, Shen. Mungkin Linzy gugup, bingung mau ngomong apa ke Lian. Itu udah biasa kan, disaat lo mau deketin gebetan. Jadi nggak usah diperpanjang!"
Senyum sumringah Linzy terulas lebar, tanpa perintah dia memeluk Retta. "Ah, that's true real my friend!"
Lidahnya terjulur meledek. Shena memelotot menatapnya.
"Ya nggak bisa gitu dong, Ta." Perdebatan pun masih berlanjut, Linzy merasa tak terima dengan Shena yang tidak ingin menyerah. "Kalo misalnya, Lian nggak tau perasaan Linzy, gimana kalo nanti tiba-tiba ada cewek yang deketin dia, terus Lian terima. Terus Linzy mewek, nangis nggak jelas. Nanti kita juga yang kena imbasnya!"
"Kok lo ngomong gitu sih?!" Linzy tak terima.
"Gue ngomong sesuai kenyataan hidup ya!"
Hela napas Retta terdengar memecah di antara perdebatan. "Mending kalian minggir dari pintu, gue mau ngasih minum ke Regha."
Linzy pun Shena menoleh pada Retta. Mengerti arah pembicaraan sang sahabat. Memang niat awal mereka ke lapangan indoor pada waktu jam istirahat, hanya karena mengikuti Retta yang ingin memberikan pacarnya handuk dan minuman. Lalu tiba-tiba Shena ikut mengusulkan itu pada Linzy. Memberikan Lian minuman.
KAMU SEDANG MEMBACA
|2| Falsity ✓
Roman pour Adolescents[SELESAI] [Follow terlebih dahulu untuk membaca] Seri kedua dari trilogi Regha-Zion-Arven ❝Terkadang butuh kepalsuan untuk menutupi seluruh luka yang menganga.❞ Cinta butuh kejujuran. Persahabatan pun terkait dengan kata itu. Lalu bagaimana dengan l...