Vote dan komen wahai penghuni surga, Zion doakan semoga malam minggu dapet gandengan *ketawajahat*
°
JIKA setiap orang ditanya apa hari yang paling menyebalkan. Sudah pasti hari Senin memenangkan suara terbanyak. Mungkin di antara banyak orang yang menjawab itu, Linzy salah satunya. Namun, alasan Linzy berbeda dengan yang lain.
Bukan upacara apalagi bangun pagi setelah libur di hari sabtu dan minggu yang membuatnya sebal. Biasanya pun dia tidak pernah membenci hari senin. Baginya hari buruk seribu umat itu, tidak berpengaruh apapun untuknya. Tetapi hari senin ini pengecualian.
Tidak ada angin, tidak ada hujan, mobilnya mendadak mogok di jalan. Hampir ribuan kali Linzy berusaha menghidupkan mobilnya, tetapi nihil. Sia-sia saja dia melakukan itu.
Seperti anak ayam yang kehilangan induknya di jalan. Dia kebingungan. Dia bukan ahli otomotif, jadi wajar dia tidak tahu harus berbuat apa saat dia membuka kap mesin depan mobilnya.
Karena pusing yang melanda, Linzy menendang ban mobilnya berkali-kali. Masa bodoh dengan orang-orang yang tengah berkendara di sekelilingnya. Mana peduli dia dengan mereka.
Beruntungnya Linzy berinisiatif datang ke sekolah pagi-pagi, jadi setidaknya waktu tidak akan mengejar-ngejarnya. Meski begitu, dia tidak boleh berdiam diri saja seperti orang bodoh di pinggir jalan. Dia harus mencari bala bantuan.
Diputuskan akhirnya dia harus menelpon sopirnya.
"Halo, Pak Edi. Mobil Linzy mogok di jalan anggrek. Ke sini sekarang Pak!" Iris kelabu miliknya ikut berlalu lalang seperti kendaraan di depannya. Mungkin ada taksi yang lewat, kalaupun tidak, dia bisa memesan ojek online nanti.
"Apa? Nggak bisa?!" Nada bicara Linzy meninggi, mendengar jawaban di seberang. "Udahlah Pak, tinggalin aja Papa di kantor. Lagian kalau mau ketemuan sama client, ada supir kantor ini."
"Jangan gitu Non, saya takut Bapak marah. Gimana kalo Non Linzy telepon Bapak, bilang kalau mobil Non Linzy mogok dan minta saya ke sana."
Telepon papanya? Sudah pasti dia tidak mau melakukan itu! "Kenapa nggak Pak Edi aja yang nelepon, ngasih tau Papa?"
"Jadi lancang dong saya Non, kalau saya yang nelpon. Lagian kan Non anaknya—"
Kalimat Pak Edi terpotong, sengaja Linzy menutup telepon sepihak. Dadanya mendadak sesak, ditarik oksigen yang banyak untuk memenuhi rongga. Tidak mungkin Linzy menelpon Pak Didit, karena sopir mamanya itu tengah mengantar Nyonya besar ke Surabaya.
Tidak ada cara lain, selain menelpon Regha.
"Halo, Gha. Lo dimana?"
"Di sekolah-lah pake nanya!"
Mulut Linzy ternganga karena ketusnya Regha berbicara. "Nggak usah ketus juga kali, gue kan cuma nanya."
"Emang kenapa?" suara Regha berubah lembut.
"Mobil gue mogok di jalan, Gha."
"Terus?" Sungguh luar biasa respon Regha. Lagi-lagi Linzy tidak bisa menyembunyikan mulut yang terbuka.
"Kok terus sih! Ya gue harus ngapain!"
"Gitu aja bingung. Telepon aja bengkel langganan lo, nanti juga dijemput mobil lo itu. Tinggal di sana, lo naik ojek."
Kalau tinggal menelpon sih gampang, masalahnya itu nomornya tidak ada. "Masalahnya nomor bengkelnya ada di Papa, dan gue nggak punya nomornya."
"Pada akhirnya lo butuh Papa lo juga kan?" Linzy terdiam, kalimat Regha seperti menikamnya dengan kejam. "Telepon Om Jeovan, perkara selesai."
KAMU SEDANG MEMBACA
|2| Falsity ✓
Teen Fiction[SELESAI] [Follow terlebih dahulu untuk membaca] Seri kedua dari trilogi Regha-Zion-Arven ❝Terkadang butuh kepalsuan untuk menutupi seluruh luka yang menganga.❞ Cinta butuh kejujuran. Persahabatan pun terkait dengan kata itu. Lalu bagaimana dengan l...
