FF(54) ● Jalur Perbaikan

4.6K 404 115
                                    

50k yeaaaaaay🎉🎉🎉
Thanks youuu buat kalian yang selalu setia sama cerita ini.

TEERRRR-debes kalian emang 💖

Ngingetin aja, jangan lupa vote dan komen :)

°°°

RUANGAN serba putih. Bau antiseptik. Dan selang infus. Ketiga hal itu yang menyambut Linzy ketika membuka mata. Dia mengerjap beberapa kali lalu mengecek sekeliling. Jiwanya baru setengah sadar saat menjatuhkan iris ke kiri. Di sana, ada ... mamanya.

Clara langsung berdiri. Menatap Linzy dengan binar bahagia, seolah apa yang ditunggunya tak berujung sia-sia. Sang Mama menangkup kedua pipinya sebelum memberikan ciuman di kening, kedua pipi dan kembali lagi di keningnya.

Linzy tak bereaksi apapun. Bibirnya tak mampu melontarkan perkataan. Bahkan seluruh tubuhnya kaku untuk digerakan. Clara menekan tombol di sisi kiri ranjang, yang tak lama seorang dokter dan beberapa perawat datang ke ruangan.

Usai memeriksa keadaannya teliti. Si dokter pria itu berbicara lama dengan mamanya. Entah apa yang dibicarakan, tapi cuma dua hal yang Linzy tangkap. Pertama, dokter bilang dia baik-baik saja. Dan untuk yang kedua, dokter itu menunjuk tangan kanan Linzy yang diperban.

Perban?

Dia terluka?

Seketika semuanya tampak jelas di mata. Kesadarannya kembali seperti sedia kala. Termasuk ingatan tak mengenakan yang terjadi beberapa saat lalu. Nyeri menelusup tanpa perintah. Begitu menusuk dadanya.

Linzy terbaring tak berdaya di sini sebab mereka. Sebab keputusan sepihak mereka. Sebab keegoisan mereka. Mama-papanya tidak pernah mau mendengarkan dan tak pernah mau peduli padanya. Linzy berusaha menahan selama ini. Namun, garis kesabarannya putus hingga dia melukai diri sendiri.

Tangannya refleks menepis tangan Clara saat dia hendak menyentuhnya. Mamanya tentu terkejut dan mencoba sekali lagi hanya untuk mendapat respon yang sama.

"Ngapain Mama di sini?!" Itu pertanyaan kasar yang keluar begitu saja dari mulutnya.

Penolakan yang Linzy berikan, berdampak besar buat Clara. "Linzy dengerin Mama ..."

"Gak!" Linzy menggeleng. Ini kondisi terlemahnya. Dia jelas tak punya kekuatan apa-apa. Sebatas air mata yang tumpah karena emosi labilnya."LINZY BENCI MAMA!"

Untuk ke tiga kali, Clara ingin menyentuh tangannya. Namun, lagi-lagi dia tepis. Wajah sedih Clara tak cukup berhasil mengalahkan seluruh sakit yang Linzy pendam selama ini.

"Linzy gak mau ngeliat Mama!" Di atas brankar Linzy meronta untuk menjauh dari mamanya membuat selang infusnya bergerak kemana-mana.

"Linzy ..."

"PERGI!"

"Selang infusnya sayang. Mama mohon jangan kayak gini ..."

"Linzy bilang pergi ya pergi!" Linzy masih memberontak. Jika Clara menampakan wajah menyedihkan itu hanya untuk membuat Linzy kalah. Itu tentu cuma akting di bawah rata-rata. Sebab Linzy sama sekali tidak merasa iba.

Lalu yang selanjutnya sungguh mengejutkan. Linzy berhenti menyakiti dirinya sendiri saat melihat mamanya berlutut memohon.

Sekecewa apapun Linzy pada Clara tentu dia tak bisa melihat mamanya sampai bersimpuh seperti itu. "Berdiri!" Itu mungkin kasar. Tapi di hatinya Linzy siap mengangkat bendera putih. Dia kalah jika melihat mamanya melakukan itu. "Linzy gak mau ngeliat Mama duduk kayak gitu!"

Clara tak juga merespon. Dia mendongak dan Linzy merasa terlempar ke ribuan paku melihat air mata yang bergulir di pipi mamanya. "Mama berdiri atau Linzy cabut paksa selang infus ini!" Linzy sudah bersiap mencabutnya saat suara mamanya terdengar.

|2| Falsity ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang