Boleh dong minta vote sama komennya ˂3
°
°
°
Hidup itu bagai jurang. Tinggal bagaimana kita berusaha berjalan seimbang dan tidak berusaha melihat ke belakang jika tidak ingin terperosok ke sana.
°°°
KATA orang bijak penderitaan itu tidak ada, hanya orang putus asa yang menganggapnya. Setiap mereka lelah menghadapi cobaan, mereka memuntahkan segala kekesalannya pada semesta.
Mereka semua menyuruh untuk berlapang dada dan menerima segala cobaan dengan keikhlasan. Sayangnya, Linzy tidak bisa begitu. Terkadang kesabaran yang berusaha ditumpuknya hilang tak berbekas. Entah kemana perginya hingga dia merasa kelelahan akan cobaan yang menghadangnya.
Dia lelah melihat pertengkaran orang tuanya. Lelah menangis diam tanpa suara. Lelah terlihat kuat di depan teman-temannya. Juga lelah bersikap seolah luka itu tidak ada, yang padahal semakin membesar dan mendorongnya lebih dalam.
Wajar bukan kalau dia lelah? Itu sifat alamiah manusia.
Akan tetapi Linzy masih punya akal sehat untuk tidak menjatuhkan dirinya lebih jauh.
Jadi untuk mengontrol diri dan berusaha untuk tidak terbayang pertengkaraan orang tuanya, hanya satu cara yang dia lakukan, yaitu datang ke pemakaman sang Nenek untuk bercerita.
Anggap saja Linzy gila, berbicara pada gundukkan tanah berumput di sepinya arena pemakaman.
Sebatas cara itu yang Linzy tahu dan dapat dilakukan.
Setelah memanjatkan doa dan mengaminkan. Linzy mengusap nisan keramik yang bertuliskan nama sang Nenek.
"Zizi selalu berdoa Nenek bahagia di atas sana." Itu nama kecilnya, yang selalu neneknya gunakan untuk memanggil dirinya. Bukan beliau yang menciptakan nama panggilan itu, tapi tentu Linzy lebih suka sang nenek yang memanggilnya begitu dibanding sang ayah—orang yang jelas menciptakan nama pendek tersebut.
"Apa Nenek ngeliat dari atas sana kalo Papa-Mama sering berantem?" Lirih Linzy berkata. "Mereka terus berantem setiap malam kalo ketemu, padahal di kamar Zizi udah siap-siap mau tidur."
"Mereka berdua teriak-teriak, saling ngebentak, nggak peduli kalo putrinya udah nangis di kamar." Kristal bening yang rapuh di sudut mata akhirnya meluncur mulus di pipi Linzy.
"Kadang Zizi berpikir, kenapa mereka gak pisah aja kalo emang gak ada rasa sayang lagi. Tapi disatu sisi ... Zizi juga gak mau mereka cerai dan ngeharusin Zizi milih di antara mereka berdua."
Kali ini tangan Linzy gemetar mengusap nisan. Sesaknya kian tak terkendali. Mengikatnya dan memperkuat lilitan hingga sulit rasanya untuk bernapas.
"Zizi nggak bisa milih untuk tinggal sama siapa. Zizi mau semuanya balik kayak dulu. Semuanya, Nek." Tidak ada isakan, untuk kesekian kalinya Linzy membiarkan air mata meluncurkan diri di pipi.
Bukankah menangis tanpa suara itu lebih menyakitkan dibanding apapun? Tapi hampir setiap saat selalu itu yang Linzy lakukan.
"Zizi kangen cookies buatan Nenek. Zizi kangen masa kecil, kangen dimana Zizi gak pernah nangis kecuali jatoh dari sepeda. Cuma nangis kalo Regha iseng ngambil lollipop Zizi di kulkas," ujung bibir Linzy terangkat meski air mata jatuh mengalir melewatinya hingga dagu. "Dan kangen Papa yang cuma sayang Zizi sama Mama ... nggak ada perempuan lain."
KAMU SEDANG MEMBACA
|2| Falsity ✓
Novela Juvenil[SELESAI] [Follow terlebih dahulu untuk membaca] Seri kedua dari trilogi Regha-Zion-Arven ❝Terkadang butuh kepalsuan untuk menutupi seluruh luka yang menganga.❞ Cinta butuh kejujuran. Persahabatan pun terkait dengan kata itu. Lalu bagaimana dengan l...