Panjang part ini, jadi disantain aja say bacanya wkwkwk
Ingetin aja buat vote dan komen huhu, biar semangat gitu :*
°°°
PELAMPIASAN amarah yang dulu Zion lakukan sangat salah. Dengan cara kotor, dia memainkan perasaan. Membuat para perempuan jatuh cinta dan setelahnya ... membuangnya ke tempat sampah.
Terdengar mengerikan, tapi dulu itu terasa menyenangkan buatnya. Saat melihat para perempuan jatuh dan bertekuk lutut karena kalah oleh perasaannya sendiri. Zion cukup menundukkan kepala dan melihat bagaimana tangis mereka yang menyayat hati.
Setidaknya dia tahu cara melampiaskan amarahnya. Melampiaskan sakitnya sebab kepergian sang mama. Menunjukkan kekuasan lelaki pada perempuan jika tidak ada kalah di kamus mereka.
Apalagi kalah soal perasaan.
Sayangnya, semua pemikiran itu berhenti saat Zion menginjak kakinya di SMA. Bertemu seseorang perempuan di gerbang sekolah. Jarak masih terbentang panjang, tapi Zion sudah terkunci di tempat. Melihat bagaimana bidadari itu menikmati lolipop di tangan. Begitu manis hingga Zion tak peduli oleh detak jantungnya yang ikut antusias.
Sebenarnya jijik untuk dijelaskan. Namun, Zion seperti ditembak panah sang arjuna. Untuk pertama kalinya dia ingin mengejar seorang hingga dia dapat merengkuhnya setiap saat.
Awalnya cuma suka pada pandangan pertama. Sebelum semuanya berubah jadi hal gila saat dia mengetahui namanya. Dan kalimat sinis yang terlontar dari bibir tipisnya. Zion merasa tertantang untuk memiliki, mendapatkan, dan mengklaim hatinya untuk jadi miliknya sendiri.
Mengejar cewek tidak ada di kamus Zion. Wajar jika dia bingung saat ingin melakukan pendekatan. Jalan pertama sedikit lancar. Namun, di pertengahan Zion melakukan kesalahan fatal hingga yang cewek mengikrakan kebencian.
Andai Zion berkata jujur sejak awal dan bukan malah menyembunyikan. Lihatlah dampaknya sekarang, cuma ada kesalahpahaman dan akhirnya cuma ada satu pilihan.
Yaitu; menjauh, membentangkan jarak agar yang cewek tidak lagi mendekat.
Dan sialnya ... takdir tidak pernah ditebak.
Pukul 10.00 pagi, Zion turun dari kamar dengan keadaan rapi. Jaket bomber yang membungkus kaus putihnya tampak begitu cocok dengan celana jeans. Apalagi sepatu adidas yang menambahkan kesan kasual.
Keinginan terakhirnya di pagi hari adalah melihat Linzy yang sudah mengobrol dengan sang Bunda di dapur. Lari dari situasi, sepertinya Zion bisa dianggap banci. Maka dari itu dia menarik kursi dan mendaratkan diri dengan santai. Anggap saja tidak ada orang di depannya.
"Kamu udah rapi pagi-pagi." Friska melongok dari dapur, mengernyit bingung. Linzy juga. "Mau kemana?"
"Mau pergi sama Zarlin."
Jujur ekspresi tertunduk Linzy melambungkan harapan Zion. Berpikir jika ada dia di hati Linzy. Oh betapa bodohnya, Zion jika berpikiran begitu.
"Mau pergi kemana emangnya?" Linzy bertanya sambil senyum.
"Bukan urusan lo!" bisiknya pelan. Sengaja agar Friska tidak mendengar.
"Ya ... gue tau." Linzy memainkan jarinya lalu memilih mengalihkan perhatian. "Bunda mau Linzy bantu?"
"Gak usah sayang, udah selesai ini!" Bunda berteriak dari arah dapur. Tampaknya Friska tengah sibuk dengan kue-nya. Selesai menuntaskan kerjaan di dapur, dia bergabung di meja makan.
"Nanti kalo kuenya udah jadi. Kita makan bareng oke?" Friska yang duduk di sebelah Linzy membelai rambutnya.
"Padahal Linzy cuma mau main ke sini, eh malah jadi ngerepotin Bunda."
KAMU SEDANG MEMBACA
|2| Falsity ✓
Teen Fiction[SELESAI] [Follow terlebih dahulu untuk membaca] Seri kedua dari trilogi Regha-Zion-Arven ❝Terkadang butuh kepalsuan untuk menutupi seluruh luka yang menganga.❞ Cinta butuh kejujuran. Persahabatan pun terkait dengan kata itu. Lalu bagaimana dengan l...
