Ready buat part ini?
Kalo udah siap kasih vote dan komennya. Luv yuuu😚
°°°
SEKARANG lorong yang mengelilingi lapangan penuh oleh suara ledekkan. Godaan. Dan kalimat klise yang sering dilontarkan saat melihat seorang cewek dan cowok harus dihukum berdua. Apalagi dengan tali sepatu saling terikat.
Zion dan Linzy seolah tengah diuji menahan sabar. Belum cukup hukuman melelahkan yang diberikan Pak Herman lalu mentari yang tengah bersemangat bersinar di jam istirahat pertama seperti ini. Dan terakhir, telinga mereka berusaha tuli mendengar suara ledekkan cie-cie terlempar sana-sini.
Diawal mereka dihukum, sebenarnya anak-anak cowok yang berada di lapangan tengah fokus bermain bola. Namun, karena Justin sialan bedebah provokator itu tahu-tahu berteriak nyaring dari lantai dua, kelas sebelas. Semua orang jadi menoleh ke arah mereka.
Yang menyebalkannya lagi. Justin memanggil semua anak kelas untuk menyaksikan mereka. Titin anaknya Pak Robert memang sialan!
Karena dia, setiap orang yang berjalan di koridor pinggir lapangan jadi ikut-ikutan meledek. Mengatakan Zion dan Linzy cocoklah. Jodohlah. Lalu juga mengatakan kalau mereka memang ditakdirkan untuk bersama.
"Gak usah didengerin sih," ucap Zion di sebelahnya sambil berusaha memelankan langkah.
"Gak usah didengerin gimana?!" Linzy emosi. Kakinya mengikuti Zion patah-patah. "Telinga gunanya buat denger! Udah panas ini telinga gue!"
"Lebay lo!"
"Apa?" Linzy berhenti. Yang tentunya hampir menghilangkan keseimbangan Zion yang masih berjalan.
"Lo jangan berhenti mendadak kayak gitu. Untung gue gak jatoh!"
"Bagus kalo lo jatoh. Berarti Tuhan ngabulin permintaan gue buat bales dendam!" Entah kenapa Linzy ingin marah-marah terus. Seperti saat tamu bulanannya datang.
"Kalo gue jatoh, lo pasti jatoh. Tali sepatu kita kan ke iket," Zion senyum. "Dan kita bakal jatoh berdua akhirnya."
Linzy memukul bahu Zion kencang, tanpa tahu yang dipukul meringis diam-diam.
"Tau ah bodo!" ketusnya lalu melanjutkan jalan. Zion mau tak mau mengikuti.
"Zi berhenti sebentar," Linzy menggeram tertahan. Sesuai yang Zion katakan, dia melakukannya.
"Apa lagi ..." Linzy awalnya mau marah. Namun, justru dibuat diam oleh tangan Zion mengelap keringat di keningnya.
"Jangan marah mulu sih. Tenggorokan lo bakal sakit kalo teriak terus kayak tadi." Yang cowok mengulas senyum sambil merapikan poni panjang Linzy ke belakang telinga.
Perlahan pasti, bukan sinar mentari saja yang berhasil mencetak merah di pipi Linzy. Namun, perlakuan Zion yang sialannya sangat manis itu.
°°°°
Jam istirahat pertama telah usai. Semua anak berbondong-bondong kembali ke kelas. Siap untuk pelajaran selanjutnya. Namun, berbeda untuk Zion dan Linzy. Mereka masih berjalan mengelilingi lapangan seperti orang bodoh.
Sepi. Mendadak ledekkan dan godaan yang tertuju pada mereka menghilang. Ini yang Linzy inginkan. Seharusnya dia berterima kasih pada suara bel masuk. Namun, entah kenapa keheningan ini malah membuat hukuman mereka terasa panjang dan lama.
"Berapa putaran lagi sih?!" tanyanya mulai gerah. Rasanya dia ingin memarahi orang yang membuat lapangan seluas ini.
"Dua lagi. Kenapa emangnya? Lo capek?" Zion bertanya lalu menarik tangan Linzy kode untuk berhenti.
KAMU SEDANG MEMBACA
|2| Falsity ✓
أدب المراهقين[SELESAI] [Follow terlebih dahulu untuk membaca] Seri kedua dari trilogi Regha-Zion-Arven ❝Terkadang butuh kepalsuan untuk menutupi seluruh luka yang menganga.❞ Cinta butuh kejujuran. Persahabatan pun terkait dengan kata itu. Lalu bagaimana dengan l...
