Boleh dong dikasih vote sama komennya. Biar jari pegal ini semangat ngetik lagi hahaha.
°°°
SEPERTI menjadi kebiasan, saat bel pulang menggema di seantero sekolah. Linzy bersama Zion berjalan menuju ruang musik.
Lorong telah dikuasai kebisingan. Para murid berbondong-bondong keluar kelas sambil menyandang tas. Di tengah keramaian yang menganggu, Zion seolah tak berpengaruh. Langkahnya tenang sementara matanya terpaku pada layar ponsel di tangan. Sangat serius, sampai Linzy yang melangkah bersamanya merasa penasaran.
"Lo ngapain sih?!" tanyanya agak kesal. Aneh saja, Zion yang biasanya banyak omong dan jarang serius. Sekarang justru diam dan terlihat sangat berkonsentrasi.
"Lo lagi main game?" Linzy bertanya lagi.
Cuma anggukan yang Zion berikan. Linzy tambah kesal, dia merapatkan tubuhnya ke Zion, usaha yang cukup bisa untuk melihat layar ponsel cowok itu.
"Tebak gambar?" Yang cewek terbelalak. "Seriously?!"
Kali ini Zion mau menoleh dan berhenti memainkan ponselnya. "Kenapa emangnya?"
Linzy tertawa. Lalu senyum mengejek. "Tebak gambar itu gak cocok sama lo. Lo tuh cocoknya sama game-nya cak lontong. Sama-sama absurd!" ledeknya berani.
Zion merasa tak terima, dimasukkan benda pipih itu di saku celana. "Cocok-cocok aja. Gue lumayan pinter buat main tebak-tebakkan. Dan lagi, permainan yang lo bilang absurd itu, udah gue selesain."
Sekarang Linzy yang terbelalak. Untuk level pertama saja kepala Linzy sudah panas karena tebakannya selalu salah. Tapi cowok itu ... wah-wah, otak Zion sepertinya memang sudah tidak waras.
Bentar jangan salah paham. Linzy tidak mendownload permainan absurd itu. Dia memainkannya dari ponsel Zion dan mencoba menjawabnya di level pertama walau level itu sudah Zion selesaikan.
"Jadi kalo game cak lontong yang susahnya minta ampun aja bisa gue jawab, terus kenapa permainan tebak gambar yang jawabannya lebih gampang kayak gitu gue gak bisa." Zion membanggakan diri.
"Itu yang jadi permasalahannya. Permainan tebak gambar itu cuma buat orang-orang yang otaknya normal. Sedangkan lo ..." Linzy menggeleng dengan wajah prihatin.
Zion memelotot. Dia tak bisa membalas. Kalah dalam hal memutar kata. Akhirnya cuma bisa cemberut. Ekspresi yang membuat Linzy tertawa keras.
Padahal mereka masih berjalan di lorong kelas sepuluh. Tapi seolah tatapan bingung dari adik kelasnya hanya dianggap angin lalu. Jelas mereka kebingungan, Zion-Linzy terkenal oleh pertengkarannya dan adu mulut tak henti. Tapi kini, seperti badai yang telah usai, Linzy yang biasanya selalu kesal di samping Zion, tengah tertawa sekarang.
"Banyak ketawa lo ya sekarang. Dulu jutek banget."
Zion sepertinya memang tidak suka saat Linzy bahagia. Namun, setidaknya dia lagi mode tidak ingin marah-marah. Jadi cuma senyum geli yang menjadi responnya.
"Gue emang gini. Gampang ketawa. Lo-nya aja yang gak kenal gue," ucap Linzy di sela langkahnya. Tinggal satu lorong lagi sebelum sampai di ruang musik.
"Gimana gak kenal. Pas gue ajak kenalan uluran tangan gue ditolak gitu aja." Zion menyindir. Buat sindiran ini, Linzy memelotot.
Saat berbelok ke lorong kanan. Mereka cuma diam. Tak lagi melemparkan perkataan yang menjurus pada ledekkan.
Namun, Linzy yang memecah hening itu. "Bu Santi bakal mantau kita hari ini?"
Zion mengangguk. "Persiapan latihan kita cuma tinggal sebulan lebih kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
|2| Falsity ✓
Fiksi Remaja[SELESAI] [Follow terlebih dahulu untuk membaca] Seri kedua dari trilogi Regha-Zion-Arven ❝Terkadang butuh kepalsuan untuk menutupi seluruh luka yang menganga.❞ Cinta butuh kejujuran. Persahabatan pun terkait dengan kata itu. Lalu bagaimana dengan l...
