SUASANA lapangan indoor pada siang hari tampak lengang. Bangku tribun yang biasanya didominasi oleh keramaian teriakan para murid yang menonton pertandingan yang sering diadakan di sekolah, terlihat kosong tanpa penghuni. Terkecuali di bagian tengah, ada satu sosok lelaki yang duduk di sana.
Cahaya dari jendela yang berada di setiap atas dinding, terlihat menelusup memberi penerangan. Keheningan tak pelak merambat di sekitarnya. Hanya suara bola yang memantul di lapangan yang terdengar di telinga.
Pandangan Zion mengamati kedua sahabatnya yang tengah bertanding basket, sekadar untuk main-main pada waktu jam kosong. Ketiganya memilih lapangan indoor karena tidak ingin menganggu rapat yang tengah diadakan di ruang guru. Mereka jelas tidak ingin suara dari perempuan alay menganggu rapat para guru.
Kebisuan Zion menjadi saksi kedua sahabatnya saling mengejar berusaha merebutkan bola jingga di sana. Peluh keringat sudah bermunculan di wajah Zion, tanda bahwa cowok itu sempat ikut serta bersama kedua sahabatnya itu.
Namun, karena merasa kelelahan, dia memutuskan untuk beristirahat di bangku tribun.
Regha dan Arven terlihat sangat fokus pada permainan mereka. Suara pun tidak terdengar mengisi sunyi. Di sana, Regha tengah berusaha menghalangi Arven yang hampir mencetak poin. Cukup hebat, Arven pun bisa menghindar.
Sampai akhirnya, Arven melempar bolanya, bola pun melayang, sedikit lagi akan masuk ke dalam ring. Namun, sepertinya ketua osis kita lupa, dia tengah bertanding melawan siapa.
Dari arah belakang, Regha membawa tubuhnya melompat. Seolah beban tubuhnya sama sekali tidak menjadi masalah. Dan dengan gerakan cepat, lelaki itu mendorong bolanya ke arah lain.
Dan bola pun gagal masuk saudara-saudara! Zion tertawa di tempat sambil bertepuk tangan heboh.
Ada dua hal yang membuat Zion merasa hidupnya berada di awang-awang. Pertama, menjaili Linzy, dan berhasil memancing kekesalan perempuan pirang itu setengah mati. Dan kedua, tentu saja melihat wajah kemerahan menahan amarah yang terlukis di wajah Arven.
Teman satunya itu jarang mengekspresikan emosinya. Hanya kedataran yang setiap hari ditunjukkan di muka umum. Namun, jangan salah, Arven pernah marah seperti orang lain. Arven pun pernah tertawa.
Tetapi mungkin itu bisa dihitung dengan jari.
Dan gelak tawa Zion pun tak tertahankan lagi. Arven menoleh padanya dan mendelik tajam. Tetapi itu bukan Zion namanya yang akan menghentikan tawa hanya karena tatapan dingin Arven.
"Sedih banget jadi lo, Ven. Main bola aja ditikung dari belakang. Apalagi kalo punya pacar."
Regha ikut tertawa.
"Justru lo yang ditikung, lo gak ngaca hah?!" Arven berujar sinis.
Senyum Zion melebar. "Gue jarang ngaca. Kasian kacanya nanti, kalah silau sama kegantengan gue."
KAMU SEDANG MEMBACA
|2| Falsity ✓
Fiksi Remaja[SELESAI] [Follow terlebih dahulu untuk membaca] Seri kedua dari trilogi Regha-Zion-Arven ❝Terkadang butuh kepalsuan untuk menutupi seluruh luka yang menganga.❞ Cinta butuh kejujuran. Persahabatan pun terkait dengan kata itu. Lalu bagaimana dengan l...