[SELESAI] [Follow terlebih dahulu untuk membaca]
Seri kedua dari trilogi Regha-Zion-Arven
❝Terkadang butuh kepalsuan untuk menutupi seluruh luka yang menganga.❞
Cinta butuh kejujuran. Persahabatan pun terkait dengan kata itu. Lalu bagaimana dengan l...
PADA ruangan berukur empat kali lima itu. Zion mengajaknya. Duduk di sofa panjang yang berada di dekat jendela kaca yang langsung menunjukkan pemandangan taman belakang rumah Zion. Berbagai gitar menggantung apik di dinding kiri. Sedangkan pada dinding kanan, banyak rak berisi kaset lama yang berjejer rapi.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sejam lalu sebelum mereka sibuk latihan, Linzy sempat terpesona saat menginjak kakinya pertama kali ke ruangan ini. Dalam ketergunan Linzy, Zion banyak cerita tentang ruang musik di rumahnya. Di sini tempat ayahnya suka membuang waktu sepulang kerja. Tempat Zion berlatih gitar untuk pertama kali.
Zion juga bercerita, tentang ayahnya yang penyuka musik rhythm and blues. Tentang sang ayah yang menghadiahkan sebuah gitar—yang selama ini selalu dibawanya kemana-mana—pada ulang tahunnya yang kelima tahun.
Dari kecintaan ayah pada musik, tak mengherankan lagi jika rasa cinta itu turun pada Zion lewat hobinya yang suka bermain gitar.
Selama dia bercerita, tidak ada tanda-tanda apapun. Senyumnya melekat. Terkadang lelaki itu tertawa setiap mengingat ayahnya yang suka kesal jika Zion salah memetik kunci chord.
Untuk topik ini, sesungguhnya Linzy sangat ingin menanyakan perihal ayah Zion dan tulisan di belakang gitar itu. Tapi, niatnya terkurung oleh Zion yang berganti topik, menyuruhnya berulang kali menyanyikan bait part-nya.
Dengan gitar yang berada di pangkuan Zion, mereka berlatih seperti yang kemarin. Tapi kali ini, Linzy sudah hafal lirik itu di luar kepala.
Namun, disaat seharusnya waktu lebih mudah berjalan karena dia yang sudah bisa bernyanyi tanpa melihat lirik di ponsel lagi, justru tidak seperti diharapkan, detik demi detik seolah sengaja bercanda dengan berlalu sangat lambat.
Bagaimana Linzy tidak merasa begitu, kejadian beberapa menit lalu—sebelum mereka ke ruangan ini—masih terngiang-ngiang di otak Linzy. Memeluk sangat erat hingga menyulitkannya berkonsentrasi.
Kejadian saat dia tersentak di sofa sementara tangan kanan Zion menempel di atas laci samping kirinya dan tangan satunya lagi menyandar di sandaran sofa. Oh ... Tuhan, dia bahkan masih bisa mengingat dekatnya wajah Zion di depannya.
Sialan! Kenapa Linzy jadi begini karena hal biasa tadi?
Cukup Linzy. Cukup! Fokus sekarang.
"Tiga kali!" suara itu terdengar bersamaan dengan hilangnya suara petikan gitar yang sedari tadi mengambang. Linzy mengangkat kepala menatap Zion yang duduk di sampingnya.
"Apa?" Linzy bingung.
"Lo!" Zion merengut kesal. "Tiga kali lo ngelamun sejak ke ruangan ini. Kalo nambah lagi, gue gak bakal nyadarin lo pake omongan lagi tapi langsung ciuman. Mau?!"