Harap bijak dalam membaca, ambil baiknya, buang buruknya.
I hope you like this part!
°°°°°°°°
PAGI ini jalanan Ibukota tampak padat. Mobil berbaris rapat. Beberapa motor yang berjejal berusaha mencari celah di antara kepadatan. Dan sialnya, Linzy terjebak di sana. Taksi yang ditumpangi berada di ruang kemacetan.
Pandangannya mengamati mobil-mobil di depan yang seperti seonggok rongsokan tanpa adanya pergerakan. Berkali-kali dia melirik jam biru di pergelangan tangannya. Tinggal lima menit lagi, gerbang sekolah ditutup. Namun, dia masih terjebak di antaranya.
Tidur yang tidak nyenyak akibat adu pendapat papa-mamanya yang maha dahsyat tadi malam, membuatnya bangun kesiangan. Kalau saja dirinya memaksa untuk memejamkan mata, walau teriakan mamanya disusul dengan bentakan sang papa mendominasi rumah pada tadi malam. Mungkin dia tidak akan terjebak dipadatnya kendaraan seperti sekarang.
Sudah terhitung tiga kesialan Linzy pagi ini. Sudah bangun kesiangan lalu Pak Edi—sopir rumahnya harus mengantarkan papanya ke bandara untuk pergi ke Lombok untuk pertemuan bersama rekan bisnis. Satu lagi supirnya Pak Joni, juga tidak bisa mengantarnya, karena lebih dulu mengantar sang mama ke kantor.
Jadilah dia terpaksa pergi ke sekolah dengan naik taksi. Dan mulai saat ini dia bertekad, bila dia tidak boleh menggantungkan hidup pada fasilitas yang diberikan orang tuanya. Dia akan belajar mengendarai kendaraan sendiri nanti.
Linzy terlambat lima menit. Gerbang sudah ditutup. Tadi dia terpaksa menurunkan diri, walau jarak ke sekolah masih terlampau jauh. Tanpa peduli dengan kakinya, dia berlari sekuat mungkin sampai pada akhirnya keletihannya hanya berbuah sia-sia.
Napas Linzy tersengal-sengal. Memandang nanar gerbang yang tertutup rapat. Punggungnya terbungkuk, sedang kedua tangan bertumpu pada kedua lutut. Dia berjalan terseok-seok mendekati gerbang, memegang teralis besi gerbang yang menjulang tinggi.
Linzy berteriak-teriak memanggil satpam sekolah yang tengah duduk santai di dalam pos. Laki-laki kepala empat itu keluar terburu-buru dari tempatnya.
"Pak, izinin saya masuk ya Pak?" pintanya memelas.
"Aduh nggak bisa neng, tunggu sini aja. Saya panggilkan anak osisnya, yang berwenang." Pak Didin, satpam sekolahnya memberi jawaban, yang tidak ingin Linzy dengar.
"Yah, jangan gitu dong, Pak. Pasti kena hukum saya nanti." Wajah Linzy semakin terlihat nelangsa. "Saya juga baru kali ini datang telat, nggak bakal ngulang-ngulang lagi deh."
"Gimana ya, neng, saya kan cuma ikut perintah. Jadi nggak bisa..."
Buru-buru Linzy memotong, mengeluarkan lollipop dari tasnya.
"Nih, Pak," lollipop yang selalu menemani Linzy kemana pun dia pergi, dimakan disaat dia merasa bosan dan jenuh. Dia ulurkan ke arah Pak Didin melewati teralis besi gerbang.
"Yah si Eneng, nyogoknya makanan yang saya nggak bisa makan, kopi gitu baru saya terima. Sakit gigi saya kalo makan manis begitu." Pak Didin menggelengkan kepala. "Udah tunggu sini, saya panggilin Pembina osisnya." Sejuruh kemudian, Pak Didin melangkah pergi begitu saja, meninggalkan Linzy yang terbengong.
What a shitty day! Dia menyandarkan punggung pada teralis gerbang. Mengembuskan napas lelah. Lollipop pun tidak jadi berpindah tangan.
"Ah sial telat gue!" Perkataan itu lantas menarik kelopak Linzy dari pejamannya. Seketika irisnya terbelalak, melihat lelaki yang tengah menuntun motor ninja hitamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
|2| Falsity ✓
Novela Juvenil[SELESAI] [Follow terlebih dahulu untuk membaca] Seri kedua dari trilogi Regha-Zion-Arven ❝Terkadang butuh kepalsuan untuk menutupi seluruh luka yang menganga.❞ Cinta butuh kejujuran. Persahabatan pun terkait dengan kata itu. Lalu bagaimana dengan l...