Operasi Bu Sya'diah baru saja selesai, setelah beberapa jam di ruang operasi antara hidup dan mati, akhirnya beliau di pindahkan ke ruang rawat biasa dengan keadaan masih tak sadrkan diri. Nuraini memandangi ibunya yang terlelap, wajah lelah penuh sakit. Nuraini terdiam, namun diamnya bukan hanya memikirkan kondisi ibunya tapi seluruh isi kepalanya seolah di penuhi oleh nama Revan, terlebih wajah kecewanya.
"Benarkan, kamu hanya menyiksa perasaanmu sendiri, Nur" ucap Mufti dari belakang secara tiba-tiba.
Nuraini hanya tersnyum getir, Ia memang tidak bisa menampik kalau rasa dan nyeri dihatinya lebih terasa dan semakin bertambah perih. Mufthi memandangi wajah Nuraini, disana terlihat jelas kalau matanya memberitahunya kalau dia terluka.
"Tidak mau memeluku?" ucap Mufthi merentangkan kedua tangannya, rasanya ingin hatinya pura-pura kuat, tapi Nuraini butuh bahu sandaran untuk bercerita, menuangkan segala keluh kesahnya, dan untuk saat ini bahu Mufthi menawarkan kenyamanan untuknya bercerita. Nuraini menghambur kepelukan Mufthi, perlahan-lahan air matanya meluruh, semakin mendesak dan semakin deras sampai-sampai bahunya bergetar hebat. Mufthi hanya diam membiarkan Nuraini menangis dalam dekapannya.
"Dia marah padaku Muft, sangat marah..." Isak Nuraini dalam dekapan Mufthi. Sahabatnya itu tak berbuat banyak, Ia hanya mengelus dan mengusap punggung Nuraini seolah memberikan ketenangan pada Nuraini.
"Dia tidak membencimu Nur, tapi dia melepaskanmu karena cintanya lebih besar dari egonya, suatu saat nanti kalian pasti akan bersatu. Entah serumit apa pun jalan yang akan kalian tempuh, kalian pasti akan menemukan garis lurus bernama jodoh. Seandainya pun tidak, Allah tidak pernah keliru memilihkan seorang yang terbaik untuk kita, sabarlah Nur, Allah pasti punya Scenario indah untukmu, untuk pak Revan" ucap Mufthi sembari mengangkat wajah Nuraini lalu mengusap air matanya yang masih berderai.
"Itu adalah keputusanmu melepaskan Pak Revan, jadi jangan menangis lagi" Nuraini mengangguk lemah mengamini kalimat Mufti.
"Ya sudah aku siap-siap pulang dulu nanti bak'da dzuhur aku kembali lagi kesini sama mas Ilham." Seraya pergi meninggalkan Nuraini yang mulai tenang.
"Muft!"
Mufti yang baru sampai diambang pintu langsung menoleh pads Nuraini.
"Terima kasih, terima masih sudah menjadi sahabat terbaikku" Mufti hanya tersenyum menerima rasa terima kasih Nuraini.
"Eh, Mufht mau kemana?" Tanya seseorang, Nuraini menolehkan pandangannya kembali.
"Pulang dulu Mas Farriq"
"Mau saya antar, kamu pasti lemah seharian menjaga Ibu" tawar Farriq.
"Tidak udah Mas, nanti Mas Ilham akan menjemput saya"
"Owh, ya Sudah. Hati-hati ya, kalau butuh bantuan jangan sungkan menghubungi saya"
Mufthi hanya mengangguk, Farriq ikut membalas senyuman Mufti dengan senyuman yang sulit diartikan.Setelah berbincang dengan Mufti, Farriq mendekati Nuraini.
"Bagaimana keadaan ibu, Nur?" Tanya Farriq berdiri didekat Nuraini.
"Belum sadarkan diri. A" ucap Nuraini berat.
"Ini, sebaikanya kamu sarapan dulu, A udah beli bhbur ayam untukmu"
"Aku belum lapar Mas Re" Nuraini membulatkan matanya lebar-lebar, Farriq mengangkat sebelah alisnya memastikan kalau Ia tidak salah dengar.
"Maksudku A Farriq" ucap Nuraini menunduk takut melihat kemarahan Farriq.
"Nur! Ibu siuman" ucap Farriq tiba-tiba. Nuraini mengalihkan pandangannya, untung saja ibunya segera siuman, kalau tidak mungkin akan terjadi suasana canggung antara mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
MEMINANGMU (Tersedia Dalam Bentuk Cetak)
RandomCerita ini akan di hapus beberapa Part setelah lebaran. Pertemuan Revan dan Nuraini, pertemuan Cinta dari dunia yang sangat jauh berbeda, namun bahasa cinta mereka menyatukan setiap perbedaan antara Revan dan Nuraini... lika-liku cinta yang tak per...