Chapter 36

5.5K 193 24
                                    

Semalam suntuk Revan tak bisa memejamkan matanya, wajahnya nampak terlihat lusuh dan pucat dengan lingkar matanya yang jelas terlihat hitam, Penyesalan itu terus saja menghantam hati dan kepalanya, penyesalan tak melihat wajah orang yang teramat dikasihinya, penyesalan membuang waktu berharganya, penyesalan jika Ia jabarkan akan memenuhi hati dan fikirannya dengan rasa sesak.

"Bodoh! Kamu memang bodoh Revan, bodoh!" kata itu sudah hampir ratusan kali menempa kepalanya.

Waktu menunjukan jam setengah lima subuh, udara dingin mulai menjalari setiap inchi kulitnya. Revan bergerak turun menuruni brankarnya. Terlihat Rico masih tertidur tak jauh darinya. Ia berjalan dengan sangat pelan nyaris tak bersuara.

"Pak Revan mau kemana pagi-pagi seperti ini" tanya Seorang suster yang berpapasan dengan Revan.

"Saya mau ketaman Sus" jawab Revan dengan senyuman jelas dipaksakan.

"Pagi-pagi seperti ini"

"Hmmm! Mari suster saya duluan" pamit Revan, suster itu hanya mengangguk, kakinya terasa mati rasa setelah semalaman hanya berbaring ditempat tidur tanpa bisa memjamkan matanya karena itulah Ia berjalan perlahan.

Ia duduk di bangku taman, memejamkan matanya yang terasa berat sembari menyambut datangnya mentari dari balik peraduan, berharap sinarnya mampu mengubah sedikit perasaannya jauh lebih baik.

Mata sendu Revan memandangi langit yang mulai merekah, warna ke-emasan mulai nampak dari ufuk timur. Hatinya berharap, sungguh berharap hatinya yang kini terluka seperti langit itu, hati yang gelap karena kesedihan bisa menemukan cahaya kehidupannya kembali. Hati yang sejatinya mulai sembuh dari luka lamanya, tapi yang terjadi kini hatinya lebih terluka, lebih sakit dan bahkan lebih parah. Jika dulu cintanya dikhianati, kini takdir yang tak mengizinkan mereka bersama meskipun keduanya begitu saling mencintai. Air mata Revan kembali meluruh bayangan Nuraini kembali menghampirinya, rasa sesak didalam hatinya membuat semua anggota tubuhnya seperti mati rasa dan kelu. Ia hanya menangis tertahan menahan sakit yang sejatinya sudah tidak bisa Ia tanggung lagi.

"Ai? Kamu... Ya Allah ini tidak adil, kenapa harus Nuraini yang harus pergi, orang yang menjadi tulangang punggung keluarga kecil, orang yang aku... Maafkan keegoisanku tapi ini tidak adil... Ini tidak adil Ya Allah, aku mau jika engkau meninta aku menggantikan tempatnya.." gumam Revan lirih.

Revan kembali hanyut menikmati sinar mentari yang sama sekali tidak ia nikmati kehangatannya, setelah menghapus jejak-jejak air matanya, Ia pandangi wajah teduh Nuraini di wallpaper ponselnya, semakin lama tangis tertahannya semakin pecah seolah memukul-mukul kepalanya.

"Akh...!" tangisnya sembari memukul-mukul dadanya seolah ingin mengeluarkan rasa sesak dalam dadanya.

Hampir lima belas menit Ia menangis pilu dengan segala kelelahannya sendiri, matanya seolah lelah untuk menangis, Fikirannya kembali bergelut pada Bu Syadi'ah, memikirkan apa yang harus Ia katakan atau apa yang harus Ia lakukan nanti pada Ibunya Nuraini, dia nyaris tak punya keberanian bertemu dengan Bu Syadi'ah, jangankan bertemu memikirkan apa yang akan terjadi saja dia tidak sangup.

"Kakak disini?" ucap Rico dari belakang dengan wajah ketakutan dengan nafas terengah-engah, Revan tak menjawab Ia hanya menatap sekilas wajah adiknya yang terlihat lelah karena kurang tidur, itu terlihat dari matanya yang masih memerah. Tanpa meminta Izin dari Revan, Rico duduk disampingnya.

"Kakak sudah merasa baikan?" tanya Rico, pertanyaan yang sejatinya tidak penting untuk Ia tanyakan. Revan tak menjawab, Ia tak menjawab karena tanpa di jawab pun Ia faham kalau Rico paham kondisi hatinya dan bagi Rico melihat kediaman Revan sudah memberikan jawaban untuknya.

"Apa yang harus kakak lakukan Co, apa yang harus kakak katakan nanti kalau bertemu dengan Ibunya Ai, apa Dia akan memaafkan kakak, karena kakak-lah putri kesayangannya meninggal, karena kakak-lah yang membunuh Nuraini"

MEMINANGMU (Tersedia Dalam Bentuk Cetak)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang