Chapter 50

4.8K 185 10
                                    

Pagi menjelang, setelah pulang dari mall semalam Nuraini hanya teralihat murung sepertinya doa agar mendapatkan bayi dari Raiysa begitu menggagu fikiranya,  sekali lagi Revan hanya menarik nafas panjang melihat isterinya kembali bersedih.

Nuraini diam memperhatikan wajah Revan dengan tatapan kosong ,  mengingat bagaimana Ia menggendong Nashwa semalam membuat hatinya sakit,  Revan begitu mencintai anak-anak dan Dia yakin kalau Rrvan menginginkan anak darinya.

"Yang.... " remasan tangan Revan mengalihkan alam khayalnya kekehidupan nyata. Nuraini mendongak melihat Revan yang entah kapan berdiri disampingnya. Nuraini menunduk menghindari kontak mata dengan Revan.

"Yang lihat aku.. " pinta Revan,  namun Nuraini masih saja diam sembari menunduk.

"yang.... " Revan bersimpuh semabari mengangkat kepala Nuraini dengan menangkup kedua pipi merah Nuraini yang semakin merah karena menangis terlihat jelas ada air mata yang menjejak disungai matanya. dengan sedikit dipaksa lembut Akhirnya Nuraini menatap dalam-dalam mata Hitam legam Revan.

"kamu tahu,  pertama kali aku melihat mata ini aku langsung jatuh cinta kepadamu. Cinta ini masih disini... " ungkap Revan dengan membawa tangan  Nuraini tepat kedadanya.

"mata ini yang membuatku jatuh cinta,  dan mata ini yang membuatku terluka,  terluka karena mata ini tak berbicara saat air matanya jatuh... Mata ini yang membuatku takut, takut kalau pemiliknya merasa tak nyaman dan ingin pergi... Aku mencintaimu dengan atau tanpa kehadiran anak dalam rumah tangga kita,  aku mencintaimu seperti kamu mencintaiku lewat doa-doamu disiang dan malamku... Ai,  percayalah aku takan lelah menunggu,  aku takan pergi dari sisimu... Sampai hari ini, perasaanku tidak pernah berubah bahkan setiap hari aku selalu jatuh cinta lagi dan lagi kepadamu maka jangan pernah ragu lagi kepadaku...  Jangan menangis hanya karena ada doa supaya kita dikaruniai anak, aminkan saja semoga doa terkabul untuk kita... Hmmm... " ucap Revan. Nurai hanya mengangguk dengan air mata masih berurai.

"sekarang tersenyumlah... Idungmu jelek kalau nangis" Revan menarik kedua pipi Nuraini untuk menerbitkan senyuman dibibirnya.

Nuraini berhambur kepelukan Revan, memeluknya dengan sangat erat seakan takut akan kehilangan begitu pun dengan Revan usapan di punggung Nuraini seolah memberikan kekuatan kepadanya.

"maafkan aku Mas,  maafkan aku yang belum bisa menjadi istri yang sempurna untukmu. Dan terima kasih kamu mau bersabar akan sikapku yang kadang kekanak-kanakan,  terima kasih kamu mau menerima segala kekuranganku yang entah laki-laki lain mungkin akan meninggalkanku, terima kasih untuk segalanya" ucap Nuraini dalam pelukan Revan sembari terisak haru.

"karena aku mencintaimu, hanya itu dan hanya itu alasan aku menerima segala kekuranganmu... Karena kamu adalah hadiah teristimewa yang Allah berikan dalam hidupku" ungkap Revan sembari mengeratkan pelukannya lebih dalam lagi.

"Jadi bagaimana apa kita tidak usah datang saja ke tujuh bulanannya aunti...?" tanya Revan setelah Nuraini tenang.

"hmm...  Tidak,  kita sudah diundang. Kewajiban seoramg muslim itu ada enam,  pertama menjenguk orang sakit,  kedua datang saat diundang, ketiga mendoakan kalau bersin, empat bila meminta nasihat maka berikan nasihat terbaik, lima jika ada mengucapkan salam maka jawablah lah, dan yang terakhir bila saudara muslim kita meninggal, antarkan lah.... Kira-kira Begitu walaupun tidak beraturan, hehehhehhe" ucap Nuraini diikuti tawa renyahnya.

"Apa segala sesuatunya sudah diatur ya dalam islam, dalam hal sekecil itu juga dibahas"

"Tentu saja mas... Islam mengatur kehidupan manusia sedemikian rupa itu untuk kebaikan manusia juga, kalau Allah sudah melarang pasti lah ada sebab dan akibatnya, contohnya daging anjing dan babi kenapa haram, pasti mas lebih tahu lah dibanding aku. Jadi segala sesuatunya haruslah bersandar pada Al-Qur'an dan Hadits insyallah hidup kita lebih tenang, walaupun belum seratus persen, minimal kita jalanin apa yang bisa kita jalanin..." terang Nuraini dengan semangat, Revan hanya tersenyum melihat Nuraini bersemangat, karena hanya membicarakan masalah agama lah Dia nampak melupakan masalah pelik dalam rumah tangganya yaitu kehadiran seorang anak ditengah-tengah kebahagiaannya, Dia sudah menginginkan nikmatnya menjadi ayah, bangun tengah malam bergadang menjaga si kecil bersama Nuraini, rindu suara tangis bayi dikamarnya. Walaupun tidak mudah kata teman-temannya, tapi ingin rasanya Ia nikmati masa seperti itu dan itu masih belum terjadi karena Trauma Nuraini masih belum juga hilang.

MEMINANGMU (Tersedia Dalam Bentuk Cetak)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang