Chapter 11

7.1K 273 0
                                    


Nuraini terdiam memandangi tembok berwarna biru muda, hati dan kepalanya terasa sangat terusik mengingat kalimat tidak jelas Revan. Beberapa kali Ia menarik nafas panjang sembari memeluk guling, kata-kata itu memang samar tapi Ia sedikit mengingat tekanan kata Revan kepadanya.

"Tadi Mas Revan bilang apa ya, perasaanku mengatakan kalimat tadi sangat penting, aku ingin kamu memasakanku, tidak-tidak, bukan itu, aku yakin bukan itu, aku ingin apa?" Nuraini masih berusaha menerka kata-kata Revan.

"Aku ingin kamu jadi pacarku, hahahaha, itu namanya mengkhayal Ai!" Nuraini menertawakan andai-andainya yang menurutnya lucu dan tidak mungkin. Ia mengelus kepalanya yang dijitak gemas oleh Revan sembari senyum-senyum tidak jelas. Ia semakin merekatkan bantal guling kedalam pelukannya.

"aku mikir apa sih..." kata Nuraini sembari memukulkan guling ke kepalanya, imajinasinya tiba-tiba liar memenuhi benaknya.

"Jangan mimpi Ai, jangan berharap tinggi, berharap terlalu tinggi sakit hati nanti kamu. tidak mungkin'kan Mas Revan menyukaimu. Kamu siapa? Cantik tidak, miskin, udik, dan bodoh iya, sainganmu pasti wuh.. jangan dibayangkan kalau kamu tidak mau mempermalukan dirimu. Kalau pun Mas Revan menyukaimu, apa kamu pantas buat Mas Revan" bathin Nuraini pada diri sendiri.

"Bangun... bangun Ai! Jangan gila!" Ucapnya lagi sembari memukul wajahnya dengan telapak tangannya.
Nuraini terdiam, Ia kembali memikirkan sosok Revan yang sejatinya akhir-akhir ini sangat menggangu kepalanya, ada rasa rindu saat Revan berangkat ke kantor, ada rasa was-was saa  jam telah larut namun Revan belum pulang, atau ada rasa bahagia ketika Ia melihat Revan tersenyum begitu manis kepadanya.

"Mas Revan itu sosok laki-laki Idaman, sudah ganteng, baik, kaya, pekerja keras, tapi aku tidak tahu soal agamanya. Aku tidak pernah melihat Mas Revan sholat, kopiah dan Koko yang ku pilihkan pun tidak pernah dipakai" ucap Nuraini tanpa sadar.

Ia menoleh kearah jarum jam yang menunjukan pukul tengah malam, entah kenapa malam ini matanya enggan sekali terpejam, fikirannya benar-benar terganggu oleh sosok Revan yang belum tentu memikirkannya.

Nuraini melihat gelasnya yang tanpa air. Ia kenakan kembali jilbabnya setelah rapi, Ia keluar kamar menuju dapur dengan membawa gelas kosong tadi untuk di isi kembali. Keadaan Rumah nampak sepi seperti tak berpenghuni.

"Kenapa aku tidak bisa tidur, Mas Revan mau mengajakku kemana ya besok" gumam Nuraini sembari menunggu gelasnya penuh dari dispenser. Telinga Nuraini menegak mendengar sesuatu dari arah luar.

Nuraini brigdik takut "Apa itu?" Ucapnya lagi semakin menajamkan indera pendengarannya.

"Kalau rampok bagaimana, aku liat Pak Didin di post jaga" Nuraini bergegas menuju luar, setelah Nuraini berad diluar Ia melihat pak Didin yang sedang berkeliling.

"Ada apa Nur, koq belum tidur?" Tanya Pak Didin yang melihat Nuraini keluar rumah. Saat itu pak Didin sedang berpatroli mengitari rumah.

"Itu tadi bapak ngusir kucing, soalnya suka buang air di garasi mobil" terang Pak Didin, Nuraini mengangguk mengerti.

"Maaf bapak ganggu ya?"

"Tidak pak, saya hanya kaget saja. Dikira ada rampok" jawab Nuraini dengan senyum lebar, pak Didin pun ikuu tersenyum.

"Kalau begitu Nur masuk dulu ya pak?" Pamit Nuraini. Pak Didin mengangguk memberi izin Nuraini.

"Owh Iya, jangan dikunci ya, Pak Revan sedang keluar" ucap Pak Didin ketika Nuraini hendak menutup pintu. Nuraini yang mendengar pesan Revan dari Pak Didin kembali keluar.

"Memang mas Revan kemana? Terus pulang jama berapa" Tanya Nuraini beruntun. Pak Didin menggelengkan kepalanya tanda tidak tahu kemana perginya Revan. Nuraini sedikit kecewa melihat Pak Didin hanya menjawab pertanyaanya hanya dengan gelengan kepala, dengan malas Nuraini kembali masuk tanpa mengunci pintu seperti yang diamanahkan Revan. Pak Didin tersenyum melihat ekspresi khawatir Nuraini.

MEMINANGMU (Tersedia Dalam Bentuk Cetak)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang