Malam itu hujan begitu lebatnya, petir bersahutan disertai angin kencang, jendela seperti menjadi kanvas air yang melukis disana. Nuraini termenung sembari bersandar di tralis jendela dengan fikiran jauh entah kemana, ada rasa khawatir yang begitu mengganggu hatinya semenjak melihat kembali laki-laki itu.
Air matanya jatuh perlahan ketika potongan kejadian itu tergambar jelas di ingatnya, bagaimana tangan laki-laki itu menjamah setiap inchi tubuhnya, rasanya nafas panas laki-laki itu masih tertinggal di permukaan kulitnya. Tubuh Nuraini meluruh tak bisa menahan rasa sesak di dadanya, kakinya tak mampu menahan beban kesedihannya.
"Ya Allah. Adakah dosa tak termaafkan yang aku lakukan, tubuh yang ku jaga kesuciannya harus dujamah laki-laki yang bukan mahramku... Rabby dadaku sakit, jiwaku sesak kenapa engkau beri aku cobaan yang begitu sulit" isak Nuraini sembari memeluk tubuhnya sendiri.
Diluar petit semakin menggila, hingga membenamkan suara isak tangis Nuraini.Sementara ditempat lain Revan memandangi langit dengan cara yang berbeda, diatas balkon Ia menikmati hujan yang tak pernah Ia lakukan sebumnya. Ia memejamkan matanya seolah menikmati setiap tetes air hujan yang jatuh ditelapak tangannya. Suara petir pun seolah nada indah yang mengalun dan mendengung di dinding hatinya. Revan membuka matanya, Ia pegang kembali dadanya yang terasa sangat hangat. Debaran itu masih terasa bahkan semakin menggebu hingga jantungnya berdetak lebih kencang.
"Akh.... Kalau aku tidak mengungkapkan perasaanku padanya aku bisa gila" teriak Revan dalam hatinya.
"Ai... Apa kamu bisa merasakan getar hatiku, aku ingin kamu tahu perasaanku... Aku mencintaimu, aku sangat mencintaimu tapi aku takut kamu menolakku dan akhirnya menjaujiku. Itu yang tidak aku inginkan..." gumam Revan lagi sembari memandang jauh ke langit malam.
"Tapi tadi kenapa Nuraini nangis ya?" tanya Revan entah pada siapa.
"Tidak mugkin dia menangis sebegitunya hanya karena rindu ibunya kan"
Pertanyaan demi pertanyaan bermunculan dikepalanya tentang sebab Nuraini menangis.
"Ai menangis bukan nangis rindu tapi seperti nangis karena ketakutan" fikir Revan sembari mebghentak-hentakan jemarinya diatas pagar balkon.
"Sebaiknya aku tanyakan, aku tidak mau Ai kenapa-kenapa, nanti minta berhenti bisa gawat" ucap Revan lalu meninggalkan balkon kamarnya menuju kamar Nuraini dibawah.
Revan berhenti ditengah anak tangga, Ia memperhatikan setiap sudut ruang tengah."Rumah ini sepi sekali, akan menyenangkan kalau aku punya anak..." gumamnya, hanya sebentar Ia berdiam diri lalu melanjutkan langkahnya menuju kamar Nuraini.
"Apa Ai sudah tidur ya, sepi sekali" Revan menempelkan telinganya memastikan bahwa ada kehidupan di dalam sana.
"Sepertinya Ai memang sudah tidur, sudahlah besok saja aku tanyakan" ucap Revan, namun baru berapa langkah Ia berjalan terdengar suara isak tangis. Pelan tapi bisa Ia dengar dengan jelas.
"Ai, kamu menangis!" ucap Revan terkejut, Ia kembali berdiri di depan pintu kamar Nuraini.
"Ai kamu didalam" teriak Revan sembari menggetuk pintu kamar Nuraini agak keras.
"Ai mas mohon buka pintunya" Revan masih memanggil Nuraini agar mau keluar kamar, beberapa kali Revan menempelkan di daun pintu berharap bahwa tadi Ia salah dengar.
"Ai...!" Revan semakin menggila, mengetuk sampai memutar knop pintu sudah Ia lakukan tapi tetap saja Nuraini tidak keluar kamarnya.
Di dalam Nuraini membekap mulutnya agar isak tangisnya tidak terdengar sampai luar, Ia duduk meluruh di pojok kamarnya."Emak bantuan Ai mak! Ai sien!"* isak Nuraini pelan.
Diluar Revan masih meneriaki namanya, Nuraini semakin mengunci mulutnya semakin keras.
KAMU SEDANG MEMBACA
MEMINANGMU (Tersedia Dalam Bentuk Cetak)
De TodoCerita ini akan di hapus beberapa Part setelah lebaran. Pertemuan Revan dan Nuraini, pertemuan Cinta dari dunia yang sangat jauh berbeda, namun bahasa cinta mereka menyatukan setiap perbedaan antara Revan dan Nuraini... lika-liku cinta yang tak per...