14

6.3K 339 5
                                    

"Kak!"

"Apa?!" Hilya sedang memakai mukena di depan cermin.

"Nggak ada mukena lain?" Fathan menggeser tubuh sang kakak, ikut membetulkan letak kopyah.

"Kenapa, sih?! sewot amat!" Hilya menyahut sambil memasukkan anak-anak rambut yang terlihat.

"Itu mukena apa plastik?! Ganti sana. Warnanya nyala banget lagi."

Hilya yang terusik, menyahut lagi, "Orang dipakeknya juga di rumah kok. Tipis ya biarin. Suka-suka saya dong!"

Suara decakan Fathan menyusul.

"Kak. Masak kakak tampil di depan Allah kayak gini? ini namanya nggak sopan, kak."

"Apa sih, Than. Sopan nggak ya itu Allah yang nentuin. Yang penting kakak niat salat. Udah titik!"

"Niat tapi harus beretika dong, kak. Mukena kakak kan banyak, kenapa musti pakek yang jelek gitu."

"Udah deh Than. Jangan banyak cincong! Keburu kakak ngantuk nih."

"Ngantuk ya sana tidur. Dibilangin juga. Sebaik-baik warna mukena itu putih kak, menurut Rasul. Dan nggak transparan kayak yang kakak pakek ini!"

"Ya elah! sok ngustad! ini jadi salat jama'ah nggak, sih?"

"Fathan salat sendiri aja. Kakak bandel dibilangin. Giliran tampil depan manusia aja dicantik-cantikin. Haus pujian manusia, ya?!" Sang adik ngeloyor memasuki mushola, tanpa merespon lagi pembelaan dari sang kakak. Fathan sudah hapal betul dengan sikap sang kakak. Ratu ngeyel.

Merasa kesal, Hilya menggoda adiknya yang sedang salat. Ditutupinya kepala Fathan yang sedang tasyahud akhir dengan kardus mie instan. Selepas itu dirinya berlari ke kamar sambil tertawa khas kuntilanak. Esoknya mereka tak bertegur sapa. Selalu seperti itu.

***

"Kenapa tuh, muka udah kayak karung aja. Kucel!"

Yang ditanya mengunci pita suara.

"Lagi marahan ya, sama Hilya?"

Itu sih, sudah biasa. Lagu lawas.

Fathan menyender diri pada dinding. Sudah dua hari, dirinya tak bertemu perempuan yang selalu membuatnya berbunga. Hampa mengusik jiwa. Haruskah dirinya memperjuangkan maaf itu lagi? harus! dia masih mengingat betul apa kata Hanan. Meminta maaf harus dengan usaha yang keras. Meski ia tahu, kesalahan yang ia lakukan sama fatalnya dengan tempo di toilet dulu.

Beberapa menit kemudian, kelas mulai penuh.

"Perhatian semuanya!" sebelum bel masuk tiba, Andre maju ke depan. Memberi pengumuman.

"Itu yang lagi makan mie lidi, bisa dipending dulu, nggak?"

Dengan kesal, jemari Arwa berhenti menyomoti makanan miliknya. Padahal manik matanya menemukan ada anak lain yang lebih memerlukan perhatian, daripada sekadar mengeluhkan acara makan mie lidinya. Faisal yang kini sedang berdebat dengan Aziz masalah utang piutang lima ratus rupiah saja tak mendapat tegur dari sang ketua. Arwa kan jadi baper, merasa diperhatikan.

"Setelah mendapat persetujuan dari Us Nuha, nanti malam saya bakal umumin di grub siapa aja yang bakal main di drama acara haul nanti. Tolong direspon ya, saudara-saudara yang tidak seibu?! saya sangat berharap postingan saya tidak diangap sekedar koran. Terima kasih."

Tepat, bel berbunyi tatkala ketua kelas mengakhiri.

***

Awan yang mulanya baik-baik saja, kini merajuk hendak meneteskan air mata. Melihat itu selepas bel, hilir mudik penghuni sekolah tergesa-gesa untuk segera pulang.

I Love You Ustadzah (Lengkap Dan Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang