Seventeen

5.9K 522 8
                                    

IPA TERASIQUE

Andre
Assalamualaikum, teman-teman. Dijawab ya salamya. Berikut peran untuk Drama Batu Menangis, check it out!
Darmi: Arwa
Si Mbok: Siti
Figuran di hutan: Aziz, Faisal, Lukky, Perdana.
Figuran di pasar: Lisa, Rara, Minul.
Narrator: Hanan
Instrumen/backsound: Fathan
Background: Bareng-bareng
Perlengkapan dll: Bareng-bareng
Bagi yang kurang berkenan, silahkan ajukan komentar.

Lima jam berlalu. Sepi. Meski post itu sudah terbaca seluruh anggota. Andre yang sebal, mengirim pesan mengejutkan.

Andre
Sebelumnya gue minta maaf, gue nggak jujur dari dulu. Ini makanya gue ngetik, kalo ngomong langsung gue suka lupa. Loe sih, pinter amat bikin hati gue jedug-jedug! Sejak ketemu Loe, gue suka senyum-senyum sendiri. Dengan senyuman loe yang pait-pait manis itu gue mau nanya? nyokap loe dulu nyidam apa?! Sit. Siti! Gue suka sama loe!

Lima anak membaca. Ponsel masih ditangan, Andre menunggu respon mereka.

Aziz
Astaga buah Naga! so sweet amat! nembak di grup!

Faisal
Wah2 mantap bro! lanjutkan!

Lisa
Ciyuuus?! nggak nyangka gua! tampang Ustadz, bibir Dilan juga ternyata.

Arwa
Sekarang lagi musim ya?! temen makan temen!

Titin
Beruntungnya 😍😍😍 Mbak, Ti dijawab atuh!

Laila bukan Majnun
Hatiku ikut gerimis 😭romantis amat Ndre. Siti belum baca woy! bangunin dia!

Fathan
Ha???

Vivi
Ya ampun, Pak. Bisa nembak cewek juga ternyata 😆, kirain cuma bisa Tilawah.

Mumpung Hanan dan Siti belum menyahut, Andre buru-buru merespon.

Andre
Yang diatas tadi saya hanya sebagai perwakilan menjadi jubirnya Hanan. Daripada cintanya lapuk di tumpuk malu. 😆😆😆

Lukky
Kezel! pembaca kecewa

Aziz
Macak sih!!!!

Arwa
😭😭😭😭

Faizal
Hoax doang😷

Andre
Maaf ya teman, kalian sih nggak mau respon postingan saya. Jadi ini fix ya? pada setuju kan? ada komplain?

Satu jam kemudian....

Siti
Apa ya kok tumben rame?

Hanan
Itu kenapa nama gue disebut? 😡

***

"Berhubung Ayah dan Bunda mereka baru kembali dari dinas, mereka satu keluarga sedang makan bersama.

"Than!" Hilya berbisik.

"Hmm." Fathan sedang mengunyah nasi goreng.

"Miranda kenal?"

Nampak berpikir, ia mengangguk. "Adik kelas, kan?" Fathan ikut berbisik.

"Yup. Dia kemarin nanyain nomer hp kamu."

Dengan penuh selidik, Fathan membalas, "jangan bilang kalo kakak ...."

"Hehehe. Itu baru rencana sih," jawabnya dalam bisikan.

"Plis deh, kak. Nggak usah nyari gara-gara!"

"Ya, tapi dianya besok mau nraktir kakak, nih! gimana dong. Rejeki mana boleh ditolak?"

"Maksud kakak apa sih!"

Kursi makan milik Ayah berderet. Suara deheman menyusul, seakan menegur mereka untuk diam.

"Uhuk-uhuk!"

Sang Bunda menepuk punggung anak perempuanya.

"Sudah dibilangi... kalo lagi makan ... ngobrolnya nanti saja. Minum dulu!"

Fathan menertawakannya dalam hati.

"Itu nasinya jangan disisain, Hil. Kebiasaan ngambil banyak tapi nggak mau ngabisin. Itu buang-buang harta namanya." Kini sang Ayah buka suara.

"Iya. Kak Hilya tuh kebiasaan. Itu namanya menghina makanan kak. Hal yang dibenci sama Allah. Iya nggak, Yah? " Fathan malah mengompori. Diinjaknya kaki Fathan setelahnya. Kesal.

"Tuh. Adikmu saja tahu, Hil."

"Iya. Ini juga Hilya habisin kok." Dengan muka cemberut, terpaksa perut yang sudah sangat kenyang itu dijejalinya lagi.

Usai makan malam, mereka bersantai. Bunda melempari beberapa pertanyaan untuk Hilya.
"Kamu sudah bisa apa aja Hil? di rumah kamu nggak lupa belajar masak kan?"

Duh, Bun. Hilya pusing.

Putri semata wayangnya itu menunduk. Bingung mencari jawaban yang tepat. Selama ini yang membantu perutnya kenyang adalah Fathan. Sedang dirinya? jangan ditanya.

"Fathan lagi ya, yang masak?"

Hilya mengangguk. Untung saja perbincangan mereka jauh dari dua laki-laki yang sedang asik nonton bola.

Bunda bersedekap, menghirup nafas panjang. Mendapati mata anaknya yang mulai berembun, dirinya jadi merasa bersalah. Mungkinkah selama ini dirinya terlalu keras dalam mendidik anak-anaknya?

"Bunda nggak ada niatan buat maksa kamu ngikutin apa mau bunda. Tapi, Hil. Bunda pengen kamu mandiri. Kamu sudah besar."

"Tapi, Hilya nggak bisa, Bun."

"Hilya bukannya nggak bisa. Hilya saja yang malas. Bukan Bunda bermaksud mau bandingin kamu sama adikmu, usia kalian sama. Fathan yang laki-laki malah sudan bisa membuat aneka sayur, la kamu apa kabar Hilya?"

Lagi-lagi Hilya menyebik. Dirinya hanya mampu memecah telur dalam wajan, selanjutnya diteruskan oleh Fathan.

Pernah, ketika malam yang dingin membangunkan rasa laparnya, ia berniat membuat nasi goreng, tapi malah ending-nya menjelma nasi gosong.

"Jaman sekarang sudah canggih Hil. Kamu bisa kan nyari resep di google, youtube atau melalui platform lain."

"Bun. Kalau jaman udah berubah, kan gampang tinggal delivery."

Lagi-lagi Bundanya menghela nafas panjang. Memijat kening.

"Bunda tidak mau anak-anak Bunda menjadi pribadi yang malas. Lagian makanan macam itu mana sehat? Bunda tidak minta kamu pandai dalam segala hal, tapi bunda hanya ingin kamu pandai mengurus diri, mengurus rumah. Karena umur manusia tak ada yang tahu kecuali Allah. Bunda nggak mau kalau semisal bunda dan ayah pergi kamu masih gini-gini saja. Bergantung sama orang lain."

"Jadi bunda ngerasa Hilya hanya beban?! Cuma Fathan, kan yang bisa bikin bunda bangga!"

Hilya bersungut-sungut, lalu berlari menuju kamar, membanting pintu keras-keras.

Seandainya saja, Hilya memahami sedikit saja maksud baik sang Bunda. Namun, nyatanya tak semudah membalikkan telapak tangan. Anak itu, perlu usaha luar biasa untuk merubahnya.

Hay..... alangkah lebih baiknya jika para silent readers nich pada ninggalin jejak di bawah ini nich.....😆😆😆

I Love You Ustadzah (Lengkap Dan Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang