Twelve#

7.1K 347 0
                                    

Kutaburkan doa, inginnya hati sekuat baja.

****

Kilatan seorang gadis yang sedang sekarat di sebuah lapangan basket. Memegangi perutnya yang bersimbah darah.

"Pergi! sebelum ada yang datang!" kekehnya lirih.

Walau sudah berlalu bertahun-tahun, kilatan-kilatan kenangan buruk itu masih terasa segar di kepala. Itulah mengapa ketika bersujud menghadap Tuhan, ia sungguh malu. Mengingat dosa yang menggunung. Yang mungkin tak termaafkan.

Dalam diamnya ia menangis. Mengucap kalimat tasbih dengan isakan. Dalam hati sering kali bertanya, sampai kapan dirinya terkurung dalam penyesalan yang tak berkesudahan ini. Dihadapan Tuhan, sudah ribuan kali dirinya memohon ampun, namun dihadapan orang tua? sungguh! belum mampu menerima murka mereka.

Nuha menyerahkan semua pada yang kuasa. Memohon diberi jalan. Jika suatu saat rahasia yang sudah disimpanya selama bertahun-tahun itu terkuak, yang ia inginkan orang tuanya dapat menerima. Memberi maaf untuknya. Mengiklaskan semua.

Sungguh Nuha tahu, Allah maha pengampun, yang maha pengasih. Semoga Dhuha tiap pagi ini memberikan kekuatan untuknya mengakui kesalahan pada mereka suatu saat nanti.

***

Biasa, sebelum bel masuk Arwa and the geng bergosip ria.

"Iya. Itu gue juga denger kali," Lisa menanggapi.

"Nyokap sih yang cerita. Itu kan mall punya papa dia. Nggak nyangka ya mau-maunya belajar di sekolah kayak gini. Kalo gue sih mending yang udah bertaraf internatinal school. Iya, nggak?" Arwa tak kalah heboh.

"Mana anaknya cantik pula. Loe liat kan kemarin dia di depan kelas, ndeketin Fathan. Ya Allah. Itu sepatu dia model terbaru kali, punya Louis Vuitton. Itu kalo di-kurs-in puluhan juta harganya."

Arwa yang mendengar membelalakkan mata.

"Itu baru sepatu udah puluhan juta. Apa kabar lain-lainya. Aduh, kapan ya gue bisa kaya kayak dia."

Dari belakang Andre mendengar mereka sambil berdecak. Selalu saja urusan dunia yang mereka bahas. Maklum saja sih, mereka semua masih di dunia. Tapi mengapa mereka lupa, hanya berpuluh-puluh tahun mereka menempati dunia, sedangkan kekalnya mereka di akhirat. Tidakkah lebih banyak berlomba-lomba dalam kebaikan. Kalau saja ia mampu mengutarakan hal itu didepan mereka.

Andre lalu menenteng kantong plastik berisi nasi bungkus ke depan Arwa.

"Nih. Ada nasi buat loe. Biar punya kekuatan buat ngomongin orang."

"Apa sih, Ndre. Loe ngeledekin gue, ya?" meski begitu tangan Arwa merayap membuka nasi itu. Penasaran dengan isi lauknya.

"Mau dong, Ndre. Kok gue nggak sekalian dikasih?"

"Ehem-ehem. Jangan-jangan terlalu lama bertetangga, jadi ada rasa, nih!" ujar salah satu geng Arwa.

Arwa tak bergeming. Matanya berbinar ketika menu yang diberikan Andre menggugah selera makannya. Dilahapnya tanpa menawari teman-temannya.

"Ya gitu, tuh. Makanan dari yang tersayang mana rela bagi-bagi, " Lisa menyindir. Andre yang masih terdiam angkat bicara.

"Apa sih. Jangan salah paham. Bukan pamer atau apa. Itu sisa nasi bungkus yang dibagiin tiap jum'at sama anak jalanan." Sengaja ia menggunakan cara itu untuk menghentikan obrolan tidak penting mereka.

Mendengar itu, kerongkongan Arwa seakan didorong. Hampir ia memuntahkan makanannya. Yang lainya sudah tertawa duluan.

"Loe kata gue anak jalanan?! Andre! kok ngeselin sih kamu!" tangannya yang belepotan sambal itu sudah siap mencengkram bahu Andre. Sebelum balada pencengkraman itu terjadi Andre bersiap untuk kabur.

"Tuh, kan. Loe mah bukan anak jalanan. Tapi anak singa kesurupan!" ia berlari disambut tawa riuh teman-temannya.

***

Suara bel memeriahkan kelas. Perut lapar mereka akan terisi juga. Fathan sendiri tak sabar mengambil ponsel yang sudah lima hari berada di ruang BK. Sekalian cari perhatian sekaligus tebar pesona pada Nuha.

Sedangkan diseberang sana, Nuha sedang bergelut dengan keributan yang diciptakan Miranda dan teman sebangkunya.

Mereka bertiga sudah berada diruang BK.

"Coba, Us minta salah satu dari kalian ceritakan. Ada masalah apa sampai kalian adu jambak seperti tadi."

Tak ada suara terdengar dari mulut mereka. Sampai Nuha meminta untuk kedua kalinya.

"Itu, Us. Miranda marah karena dia tau kalo aku mau ngirim surat cinta ke Kak Fathan. Dia jambak saya duluan. Saya yang nggak terima saya jambak balik."

Miranda tidak mengelak. Memang benar adanya seperti itu. Dirinya tak mau ada gadis lain berusaha mendekati Fathan.

"Astaghfirullah!" Nuha mengela nafas berat.

"Benar begitu, Miranda?"

Tak ada jawaban tapi cukup anggukan gadis itu menjelaskan semuanya.

Dengan nada sehalus mungkin Nuha memberi nasihat.

"Kalian merasa tidak kalau perkelahian kalian tadi sia-sia? apa ada manfaatnya?" menghela nafas sejenak, ia pun melanjutkan, "pertama lihat penampilan kalian sekarang. Rambut kalian menguar. Acak-acakan. Tidak hanya malu yang kalian terima tapi juga stigma buruk dari teman kalian. Coba kalian bayangkan kalau seandainya orang yang kalian sukai tahu apa yang kalian lakukan tadi? sudah pasti apa yang kalian ributkan akan merasa risih. Dan tentu akan membuat kalian semakin merasa malu. Orang tua kalian juga nanti tak kalah malu jika Us memanggil mereka kemari."

"Jangan, Us. Mita ngaku salah. Janji nggak bakal ngulangin lagi."

"Coba Us minta realisasi pertobatan kalian."

Tangan keduanya terulus untuk saling memberi maaf, meski hanya dengan gerakan tangan.

"Usia kalian yang masih remaja ini, harusnya kalian habiskan untuk mengunyah ilmu, menjukangkan prestasi, bukan malah berlomba mencari sensasi. Karena kalian membuat keadaan kelas jadi tidak kondusif, saya minta kalian minta maafsama teman satu kelas kalian. Untuk bukti sama minta tiap kalian menyetorkan tanda tangan mereka. Kalian paham? serahkan istirahat besok siang."

"Baik, Us. Kami permisi dulu. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Keduanya menangkap sosok Fathan di depan mata. Tidak hanya kaget, tapi malu dengan penampilan mereka saat ini.

Dengan segudang kekesalan mereka berlalu tanpa mau menyetorkan muka pada Fathan. Terlebih Miranda.

"Ini semua gara-gara Mita," ujarnya dalam hati.

I Love You Ustadzah (Lengkap Dan Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang